JAKARTA, AKURATNEWS.co – Keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai memberikan keterangan yang tidak konsisten dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) serta cenderung berpihak pada PT Position.
Hal ini disampaikan kuasa hukum PT Wana Kencana Mineral (WKM), Rolas Sitinjak dan OC Kaligis, usai sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (24/09/2025). Sidang perkara pidana yang mempersoalkan patok lahan tambang nikel di Halmahera Timur antara PT WKM dan PT Position ini menjadikan Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang — dua karyawan PT WKM — sebagai terdakwa.
“Ini seperti orang politik (jawabannya). Jawabannya mencla mencle. Banyak lupanya Yang Mulia,” kata Kaligis dengan nada gusar di penghujung sidang kepada majelis hakim yang dipimpin Sunoto.
Pengacara senior ini gusar karena ketika saksi ditanya oleh pihaknya selalu menjawab tidak tahu dan lupa. “Tapi ketika ditanya tentang PT Position bisa menjawab,” kata Kaligis.
Saksi dari JPU yang dihadirkan pada persidangan ini adalah Lalu Mahendra dari Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara (Malut). Jabatannya adalah kepala seksi perencanaan. Sejumlah pertanyaan diajukan seperti status lahan yang dimiliki PT WKS, status IUP dari PT WKM dan Position, posisi patok, hingga klarifikasi sejumlah keterangan saksi yang tertuang di dalam BAP.
Keterangan yang tidak konsisten ini dinilai Rolas telah memunculkan tanda tanya besar mengenai legal standing PT WKS serta dugaan kriminalisasi terhadap dua tersangka dalam perkara ini. PT WKS merupakan perusahaan yang memiliki Perizinan Berusaha Pemanfaataan Hutan (PBPH) di areal yang di dalamnya terdapat IUP dari PT WKM dan PT Position.
Menurut Rolas, saksi yang seharusnya memberikan keterangan sebagai saksi fakta justru berperan seolah-olah sebagai ahli.
“Dia hanya punya kapasitas menunjuk titik berdasarkan peta atau GPS, tapi menjelaskan banyak hal di luar kapasitasnya. Ketika hakim bertanya, saksi ragu-ragu, tapi saat jaksa bertanya, dia bisa menjawab lancar. Kualitas saksi seperti ini jelas dipertanyakan,” kata Rolas.
Ia menambahkan, kesaksian yang berubah-ubah dan tidak konsisten menguatkan kesan bahwa perkara ini dipaksakan.
“Ini akal-akalan saja. Saksi yang mencla-mencle seperti ini justru membuka fakta bahwa ada upaya kriminalisasi terhadap dua orang yang tidak bersalah,” ujarnya.
Pokok perkara yang paling disorot adalah status hukum PT WKS dalam menjalankan aktivitas di wilayah konsesi PT WKM.
Berdasarkan regulasi, setiap perusahaan pertambangan dan kehutanan wajib memiliki Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang disahkan pemerintah sebelum bisa melakukan kegiatan eksploitasi, termasuk pembukaan jalan dan penebangan pohon.
Hal ini sendiri mengacu pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), khususnya Pasal 136 ayat (2), yang menegaskan bahwa kegiatan pertambangan baru bisa dilakukan setelah pemegang izin memiliki dokumen lingkungan dan rencana kerja yang disahkan.
Lalu Permen LHK No. 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, yang mensyaratkan RKT tahunan sebagai dasar operasional perusahaan pemegang konsesi hutan.
Menurut Rolas, PT WKS belum memiliki RKT untuk wilayah tersebut pada 2024. RKT baru berlaku pada 2025.
“Artinya, WKS masuk ke wilayah konsesi tanpa dasar hukum. Itu jelas melanggar aturan. Pertanyaannya, hasil kayu dan nikel dari bukaan jalan sepanjang 1,1 kilometer itu ke mana? Sampai sekarang tidak ada jawaban,” tegasnya.
Rolas menegaskan bahwa PT Position juga melakukan pelanggaran, baik secara langsung maupun tidak langsung karena dasar kerja sama yang cacat hukum. Selanjutnya ia menyebut PT Position melanggar secara teknis di lapangan karena memperbesar jalan angkut, menggali, dan mengangkut tanah hasil bukaan.
“Aktivitas ini dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, sehingga bisa dikategorikan sebagai praktik illegal mining. Pelanggaran berlapis terjadi di sini. WKS sudah salah karena belum punya RKT, tapi tetap nebang kayu. Position pun ikut salah karena berdiri di atas pelanggaran WKS, lalu menambah pelanggaran baru dengan memperbesar jalan dan mengangkut tanah,” ujarnya.
PT WKM dalam keterangannya di persidangan juga memaparkan bahwa bukaan jalan yang dilakukan PT WKS dan PT Position sepanjang ±1,1 kilometer dengan lebar bervariasi antara 30–100 meter berpotensi menghilangkan sekitar 8 hektar kawasan hutan. Kayu hasil tebangan maupun material nikel dari pengupasan lahan disebut tidak jelas alirannya.
“Kalau memang sesuai aturan, setiap kayu hasil tebangan wajib dilaporkan dan setiap material tambang harus masuk dalam pencatatan produksi resmi. Tapi sampai hari ini, tidak ada data jelas. Ini memperkuat dugaan illegal logging dan illegal mining,” tegas Rolas.
Dalam perkara ini, ada dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Marsel dan Awwab. Namun, Rolas menyebut tuduhan kepada keduanya tidak berdasar.
“Marsel hanya menunjuk titik lokasi, sementara Awwab bahkan tidak berada di tempat saat aktivitas dilakukan. Kalau diibaratkan kasus pidana, yang melakukan pembunuhan siapa, yang mengintip siapa, yang memberi perintah siapa. Tapi justru yang ditangkap bukan pelaku. Ini jelas bentuk kriminalisasi,” ujarnya.
“Kalau WKS dan Position beraktivitas di 2024, jelas itu ilegal. Tidak ada dasar hukum. Jadi jangan justru mengorbankan orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa dengan memasukkannya ke penjara,” imbuh Rolas.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda menghadirkan empat saksi dari JPU./Ib.