JAKARTA, AKURATNEWS.co – Proyek ‘kilat’ yang dulu dijanjikan tanpa beban bagi negara, kini malah menjadi ladang polemik keuangan besar-besar.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, atau sering disebut Whoosh tengah menghadapi gonjang-ganjing pendanaan dan utang yang membuat rakyat bertanya: apakah janji efisiensi dan kemandirian itu hanya angin lalu?
Data terkini mengindikasikan bahwa proyek sepanjang sekitar 142 kilometer ini menelan biaya dan utang yang setara atau bahkan lebih besar dari proyek serupa di Arab Saudi. Sebuah alarm merah bagi transparansi dan akuntabilitas infrastruktur bangsa.
Proyek arab Saudi, yakni kereta cepat Land Bridge sepanjang 1.500 km, diperkirakan USD7 miliar ( Rp112 triliun). Sebaliknya, Whoosh dengan panjang hanya 142 km sudah menelan biaya sekitar Rp122 triliun.
Dengan demikian, biaya per kilometer Whoosh mencapai sekitar Rp859 miliar/km, lebih dari 10x lipat dibanding Land Bridge Saudi yang sekitar Rp75 miliar/km.
Data ini memperkuat pandangan sejumlah pengamat bahwa rasio biaya/untuk kilometer proyek ini ‘keluar jalur’. Lalu muncul tuntutan audit dan investigasi lebih dalam karena infrastruktur tanpa transparansi hanya bisa menambah beban, bukan membangkitkan kepercayaan publik.
Sumber internasional bahkan menyebut utang Whoosh kini menembus kisaran Rp 116 triliun (USD 10,7 miliar dan operasional yang masih jauh dari target pasar.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa pun sudah jelas-jelas menolak menggunakan APBN guna membayar utang Whoosh.
“Bagus. Saya nggak ikut kan? Top!” ujar Purbaya.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian utang ini harus bersifat business-to-business (B2B) antara pihak konsorsium dan pemberi pinjaman, tanpa membebani rakyat lewat anggaran negara.
Anggota DPR dari Komisi XI, Tommy Kurniawan juga mendukung kebijakan Menkeu Purbaya yang menolak membebani APBN untuk utang Whoosh.
Menurutnya, utang tersebut tidak seharusnya dibebankan kepada APBN, karena bersifat proyek investasi yang seharusnya dikelola konsorsium dan bukan tanggung jawab langsung pemerintah.
“Kalau APBN digunakan untuk bayar utang Whoosh, nanti proyek lain yang bermasalah juga bisa minta hal yang sama. Ini tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Senada dengan Tommy, anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati mengungkapkan, permasalahan proyek infrastruktur KCJB muncul sejak awal, seperti tidak masuknya proyek ini dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030.
“Bahkan Menhub saat itu tidak menyetujui proyek Whoosh dengan alasan bakalan tidak bisa dibayar,” papar Anis, beberapa waktu lalu.
Ia pun sepakat jika tidak tepat APBN yang harus menanggung utang Whoosh karena justru memperberat kondisi keuangan negara yang sudah dalam keadaan terbatas.
Anis juga menyoroti performa keuangan entitas yang terkait.
“Kereta Cepat menurut data BPS, hanya ramai saat-saat liburan saja, padahal biaya investasi sangat tinggi, lalu harus menanggung operasional yang tidak kecil,” ungkapnya.
Untuk diketahui, PT PSBI sebagai entitas anak usaha PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatatkan kerugian hingga Rp4,195 triliun pada 2024, dan semester I-2025 merugi Rp1,625 triliun.
Pemerintah China sendiri melalui juru bicaranya menegaskan bahwa proyek ini memiliki manfaat sosial-ekonomi dan siap terus bekerjasama; namun tidak memberikan jawaban rinci soal utang.
Skema restrukturisasi utang sedang dipersiapkan, termasuk pembicaraan tenor 60 tahun dan negosiasi suku bunga dengan pihak China.
Update terbaru menyebutkan, Menkeu Purbaya dan pihak terkait mengaku “tidak akan terlibat langsung” dalam tim negosiasi yang menuai kritik terkait tanggung jawab negara.
Lalu, mengapa hal ini penting untuk diketahui publik?
Pertama, utang besar proyek ini bisa berujung pada risiko fiskal jangka panjang, terutama apabila pembiayaan memerlukan subsidi tambahan atau garansi negara.
Kedua, bila transparansi tidak dikawal, publik yang akhirnya menanggung beban melalui pajak atau tarif akan kehilangan kendali atas aset besar nasional ini.
Ketiga, skema pembiayaan yang tidak efisien menjadi contoh buruk bagi proyek infrastruktur selanjutnya: teknologi besar boleh, tetapi kalau rencana finansial lemah, akhirnya hanya “kembang api” sementara.
Kemudian, apa tantangan dan agenda ke depan dalam gonjang-ganjing utang Whoosh ini
DPR dan Kemenkeu perlu memperkuat audit dan pengawasan terhadap kontrak, utang, dan mekanisme pembayaran proyek ini.
Publik menuntut agar laporan keuangan proyek (termasuk usia utang, bunga, beban pelayanan) dibuka seluas-luasnya.
Manajemen proyek harus membuktikan bahwa dari sisi operasional, proyek ini bisa menjadi mesin produktivitas, bukan hanya monumen belanja besar.
Pamungkas, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dulu digembar-gemborkan sebagai simbol kemajuan, kini menjadi simbol tantangan besar dalam tata kelola pembangunan infrastruktur.
Utang besar, target meleset, dan pertanyaan transparansi yang menggantung, semuanya menuntut jawaban.
Publik berhak tahu: apakah investasi ini akan benar memberi manfaat jangka panjang atau justru menjadi beban tersembunyi untuk generasi mendatang? (NVR)
 
                        
