‎SURABAYA, AKURATNEWS. co – Ditengah  megahnya upacara dan acara spesial, lagu Indonesia Raya berkumandang gagah, namun tersimpan sebuah ironi yang menyesakkan. Lagu agung yang dinyanyikan pada setiap acara kenegaraan tapi makamnya tak pernah dikunjungi pemimpin negara.

‎Lagu Indonesia Raya menjadi jiwa kemerdekaan itu lahir dari tangan seorang wartawan sekaligus komponis bernama Wage Rudolf Soepratman. Namun hingga kini, tak satu pun dari delapan presiden Republik Indonesia pernah menziarahi makamnya di Surabaya. Ironis.

‎Makam sang pencipta lagu kebangsaan itu terletak di Jalan Kenjeran, Rangkah, Surabaya. Di area seluas 42×44 meter tampak begitu hening sementara lalu lintas begitu padat. Namun masyarakat tidak menyadari bahwa di sisi jalan yang mereka lewati terdapat makam tokoh besar yang melahirkan identitas bangsa dan negara, jauh sebelum Indonesia merdeka.

‎Di sanalah Gufron, pria berusia 46 tahun, meneruskan tugas mulia sebagai juru kunci makam W.R. Soepratman, amanah turun-temurun sejak kakeknya, Sukirman yang mulai menjaga makam pada tahun 1960.

‎“Sejak embah dan bapak saya jadi juru kunci, sampai saya sekarang, belum pernah ada presiden yang datang ke sini,” tutur Gufron dengan mata menerawang. “Padahal mereka pernah lewat di depan makam ini. Tapi tidak ada yang berhenti.”

‎Gufron adalah generasi ketiga penjaga makam yang setia. Setelah Sukirman wafat, tugas itu dilanjutkan oleh ayahnya, Mat Tabri hingga tahun 2000. Lalu tongkat tanggung jawab berpindah ke tangan Gufron sejak 2001 hingga kini.

‎Ia tetap setia menjaga pusara tokoh yang telah menanamkan kesadaran nasionalisme lewat musik, dengan kesederhanaan yang mencerminkan keikhlasan.

‎Kini, Gufron juga bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Sosial Kota Surabaya sejak masa Wali Kota Tri Rismaharini. Ia ditugaskan menjaga dua situs bersejarah, yaitu Makam W.R. Soepratman dan Taman Makam Pahlawan di Jalan Mayjen Sungkono.

‎“Gaji saya UMR, sekitar empat jutaan. Tapi yang penting, saya bisa terus merawat makam ini. Ini bukan sekadar pekerjaan tapi pengabdian,” ujarnya dengan senyum kecil.

‎Ironinya semakin terasa saat ia menunjuk sebuah prasasti di area makam. Di atas batu hitam itu tertulis bahwa pemugaran makam dilakukan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.

‎“Waktu itu ada acara di Tugu Pahlawan Surabaya Ibu Mega menandatangani dari sana. Tapi orangnya tidak datang. Hanya prasastinya saja,” kata Gufron.

‎Di tengah hiruk pikuk bangsa yang terus memuja simbol nasionalisme, kisah ini menggugah nurani. Delapan presiden telah berganti. Dari Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga Prabowo Subianto, namun tak satu pun berziarah ke makam sang pencipta lagu kebangsaan.

‎Sungguh ironis. Lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan dengan penuh hormat di depan istana, di sekolah, di stadion, di acara resmi, bahkan di panggung dunia. Tetapi jasad penciptanya terbaring sunyi tanpa pernah disapa oleh para pemimpin tertinggi negeri yang digugah lewat lagu.

‎Kritik juga disampaikan oleh Rudy T. Mintarto, Ketua Panitia 97 Tahun Indonesia Raya yang akan digelar pada 28 Oktober 2025, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda di makam W.R. Soepratman.

‎“Sungguh saya merasa sedih, Pak Wage itu bukan hanya wartawan tapi juga seniman. Ia menggugah kesadaran rakyat lewat tulisan dan musik. Tapi penghargaan itu seperti hanya sampai pada menyanyikannya, tidak sampai ke makamnya.”

‎*ZIARAH NASIONALISME*

‎Menurut Rudy, bangsa ini sudah terlalu sibuk dengan upacara simbolik tapi sering lupa menghormati akar sejarahnya. “W.R. Soepratman itu bukan sekadar komponis. Ia adalah pengobar semangat rakyat yang menumbuhkan kesadaran akan kemerdekaan lewat karya musik,” tegas Rudy.

‎Rudy menilai bahwa kehadiran presiden ke makam Soepratman bukan sekadar gestur politik tapi tindakan moral yang sangat penting. “Kita butuh ziarah nasionalisme bukan seremonial semata. Ziarah itu bentuk penghormatan pada sejarah dan kesadaran kita sebagai bangsa,” katanya.

‎Panitia 97 Tahun Indonesia Raya yang dipimpinnya berencana menggelar acara reflektif dan kultural, bukan sekadar upacara protokoler.

‎Acara tersebut akan memadukan seni, musik, dan pembacaan refleksi perjuangan W.R. Soepratman untuk mengingatkan generasi muda bahwa kemerdekaan lahir bukan dari perang semata, tapi juga dari pikiran dan karya seorang seniman.

‎“Kami ingin makam ini kembali hidup. Tidak hanya ramai setiap 28 Oktober, tapi menjadi ruang ziarah intelektual dan spiritual bangsa,” ujar Rudy.

‎“Apalagi tahun ini momen 97 tahun lagu Indonesia Raya. Tiga tahun lagi, bangsa ini akan memperingati satu abad lagu kebangsaan ini. Sudah sepantasnya presiden hadir memberi penghormatan langsung,” tutur Rudy mengingatkan.

‎*Rahasia Semesta, 17 Agustus*

‎Wage Rudolf Soepratman wafat pada 17 Agustus 1938, tujuh tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebuah kebetulan yang terasa penuh makna, seakan semesta menyatukan tanggal kematiannya dengan hari lahir bangsa yang lagu kebangsaannya ia ciptakan.

‎Dalam catatan sejarah, Soepratman meninggal karena penyakit dada, diyakini sebagai komplikasi paru-paru, di usia 35 tahun. Ia sempat berkata, “Suatu ketika Indonesia pasti merdeka.” Tujuh tahun kemudian, keyakinannya terbukti.

‎“Kalau saja ada satu presiden datang ke sini, bukan untuk seremoni, tapi benar-benar menundukkan kepala di depan makam ini, mungkin ruh Pak WR bisa tersenyum,” ujarnya Rudy dengan tatapan menerawang.

‎Kisah ini bukan sekadar kritik terhadap abainya para pemimpin tapi juga cermin bagi seluruh bangsa. Kita telah menyanjung lagu kebangsaan sebagai simbol kemerdekaan tapi lupa pada sosok yang menciptakannya.

‎“Semoga suara ini sampai ke istana,” harap Rudy. “Semoga presiden, wakil presiden, dan semua pejabat mau datang ke sini. Bukan hanya untuk berfoto, tapi untuk benar-benar memberi penghormatan.”

‎Karena menghormati pencipta lagu kebangsaan bukanlah sekadar ziarah ke makam seseorang, itu adalah ziarah ke nurani bangsa sendiri./Ib.

Penulis: Rokimdaka.

By Editor1