JAKARTA, AKUTATNEWS.co – Pernyataan Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, yang mendatangi KPK dan menyerahkan dokumen terkait dugaan korupsi kuota serta penyelenggaraan haji 2023–2024 dengan menyeret nama mantan Menteri Agama H. Yaqut Cholil Qoumas, hari ini, Jumat (12/9/2025) perlu diluruskan agar tidak menyesatkan opini publik.
Pertama, tudingan Boyamin bahwa Menteri Agama dan staf khusus “tidak boleh menjadi pengawas haji” adalah keliru dan tidak memahami regulasi.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Menteri Agama justru secara resmi ditetapkan sebagai Amirul Hajj.
Tugas utama Amirul Hajj adalah memimpin misi haji Indonesia serta memastikan kelancaran pelaksanaannya, dibantu oleh satu tim yang setiap tahun dibentuk dengan komposisi 6 orang unsur pemerintah dan 6 orang unsur ormas Islam.
Kedua, keberadaan Tim Amirul Hajj bukanlah temuan baru. Tim ini selalu ada setiap musim haji, bahkan jauh sebelum periode Gus Yaqut. Susunan Tim Amirul Hajj 2024 juga jelas dan transparan, terdiri dari perwakilan Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator PMK, Kementerian Perhubungan, serta tokoh-tokoh ormas Islam seperti PBNU, Muhammadiyah, MUI, hingga Nasyiatul Aisyiyah.
Dengan demikian, tim ini adalah mandat resmi dan bukan rekayasa personal untuk mencari keuntungan.
Ketiga, tudingan mengenai “uang harian Rp7 juta per orang” perlu diluruskan.
Honorarium dan biaya perjalanan Amirul Hajj beserta tim diatur secara resmi dalam PMA no 24 tahun 2017. Pelaksanaannya dilakukan dengan dasar hukum yang jelas, dapat diaudit, serta sama sekali tidak melanggar aturan.
Menyebut hal ini sebagai “dugaan korupsi” adalah tuduhan yang prematur, mengada-ada, dan menyesatkan publik.
Keempat, Boyamin menyebut pengawasan seharusnya hanya dilakukan DPR, BPK, atau BPKP. Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman mengenai fungsi Amirul Hajj.
Amirul Hajj bukanlah lembaga pengawas dalam arti audit keuangan, melainkan pemimpin misi haji yang bertugas memastikan aspek teknis, operasional, dan pelayanan jamaah berjalan dengan baik.
Pengawasan internal tetap dilakukan Itjen Kemenag (APIP), sementara pengawasan eksternal tetap berada pada lembaga berwenang seperti DPR, BPK, dan BPKP. Tidak ada tumpang tindih, apalagi pelanggaran hukum.
Oleh karena itu, pernyataan Boyamin Saiman sesungguhnya lahir dari kesalahpahaman terhadap regulasi dan praktik penyelenggaraan haji. Mengaitkan tugas Amirul Hajj dengan dugaan korupsi adalah logika keliru yang berpotensi menyesatkan masyarakat.
“Kami menegaskan bahwa apa yang dijalankan oleh Menteri Agama (Amirul Hajj) dan timnya adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang dan tata kelola resmi negara,” kata Juru Bicara Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta.
Selain di UU Nomor 8 Tahun 2019, Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2017 juga mengatur tentang tugas dan hak Amirul Hajj serta anggota timnya. Pasal 6 PMA No 24/2017 menegaskan bahwa Amirul Hajj, Wakil, Sekretaris, Anggota, maupun Staf Sekretariat berhak memperoleh biaya perjalanan dinas, uang harian, fasilitas lain sesuai ketentuan, serta mendapatkan asuransi.
“Artinya, keberadaan biaya Amirul Hajj itu merupakan bagian dari mekanisme resmi yang diatur negara,” pungkas Anna sembari menghimbau kepada publik untuk tidak terprovokasi oleh narasi yang tidak berbasis data, fakta dan regulasi yang sah./ Ib.