JAKARTA, AKURATNEWS.co – Revisi Undang-Undang Pemilu kian mendesak untuk dilakukan guna memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya melakukan reformasi politik, salah satunya lewat perbaikan sistem pemilu agar lebih inklusif dan mampu memberi ruang partisipasi luas bagi seluruh warga negara.
Menurut Prabowo, sistem pemilu yang berlaku saat ini belum sepenuhnya adil karena tidak semua masyarakat memiliki kesempatan sama dalam berpartisipasi politik. “Revisi ini jalan untuk memastikan setiap warga negara punya hak yang sama dalam menentukan arah bangsa,” tegasnya.
Dukungan Pemerintah dan Pandangan Ahli Hukum
Pandangan Presiden diperkuat Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai revisi UU Pemilu penting untuk mewujudkan demokrasi substantif, bukan sekadar prosedural.
“Masih banyak masalah yang melekat, mulai dari biaya politik yang tinggi, lemahnya akuntabilitas partai, hingga kepastian hukum yang belum kuat. Revisi undang-undang harus melahirkan sistem pemilu yang lebih transparan, adil, dan menghadirkan wakil rakyat berkualitas,” ujar Yusril.
Desakan Publik: Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat
Tak hanya pemerintah, desakan revisi juga datang dari masyarakat. Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat lahir sebagai akumulasi keresahan publik atas lemahnya fungsi representasi partai politik dan krisis kepercayaan terhadap lembaga legislatif.
Gerakan ini menekankan perlunya transparansi partai, perbaikan mekanisme kaderisasi, hingga penguatan peran DPR agar benar-benar menjalankan fungsi checks and balances terhadap eksekutif.
Putusan MK Perkuat Urgensi Revisi
Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) makin mempertegas urgensi revisi UU Pemilu.
- Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 – memisahkan Pemilu Serentak Nasional dan Lokal, yang jika tidak segera diatur akan menimbulkan kekosongan hukum, terutama soal jadwal pemilu dan masa jabatan.
- Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 – terkait parliamentary threshold 4 persen, yang dinilai masih konstitusional untuk 2024 namun wajib disesuaikan mulai Pemilu 2029 agar suara rakyat tidak terbuang sia-sia.
- Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 – membatalkan Pasal 222 UU Pemilu tentang presidential threshold, sehingga syarat ambang batas pencalonan presiden tidak lagi boleh menghalangi hak politik warga negara.
Putusan-putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu mengamanatkan DPR dan Presiden segera melakukan revisi. Jika terlambat, bisa muncul ketidakpastian hukum yang berimbas pada melemahnya kualitas demokrasi Indonesia.
Partisipasi Rakyat jadi Kunci
Lebih jauh, revisi UU Pemilu tak boleh hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga memastikan adanya meaningful participation atau partisipasi bermakna dari rakyat. Artinya, publik dilibatkan dalam setiap tahapan, mulai dari perumusan masalah hingga pengambilan keputusan.
Prinsip demokrasi deliberatif inilah yang diyakini mampu memperkuat legitimasi hukum pemilu sekaligus menjamin sistem politik yang benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Agenda Reformasi Politik Struktural
Dari seluruh dinamika ini, revisi UU Pemilu dipandang tak sekadar soal aturan teknis pemilu. Lebih jauh, revisi adalah bagian dari agenda besar reformasi politik struktural: memperkuat demokratisasi partai politik, memperluas partisipasi rakyat, mengembalikan peran DPR sebagai pengawas eksekutif, serta menjaga agar sistem pemilu selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat./Ib.
Oleh: Rani Purwanti
Dr. (Cand.) Hukum Tata Negara
Peneliti di bidang kepemiluan dan kelembagaan partai politik
