JAKARTA, AKURATNEWS.co – Jika selama ini pesugihan identik dengan tumbal manusia, film ‘Pesugihan Sate Gagak’ datang dan coba menyajikan cerita lain soal pesugihan dengan cara yang absurd dan menggelitik.

Karya terbaru dari Cahaya Pictures ini memadukan mitos, kritik sosial, dan humor gelap menjadi satu tontonan yang sama anehnya dengan realitas yang coba dikritiknya: manusia modern yang rela menyate burung gagak demi cuan.

Film ini terinspirasi dari praktik mistis yang benar-benar hidup di sejumlah daerah Jawa yakni ritual pesugihan yang menyajikan sate dari daging burung gagak sebagai bentuk persembahan kepada makhluk halus.

Prosesnya dilakukan di tempat angker seperti kuburan tua atau hutan keramat, dan, konon, dilakukan dalam keadaan telanjang.

Namun alih-alih mengubahnya menjadi film horor seram, sutradara Dono Pradana dan Etienne Caesar (EC) justru mengemasnya dalam bentuk komedi klenik absurd.

“Lewat film ini, saya cuma mau bilang, hidup itu absurd. Kadang hal-hal paling gelap justru bisa bikin kita ketawa; dan ternyata, ada juga pesugihan yang tumbalnya bukan manusia,” ujar Dono Pradana, sang sutradara saat Press Screening film ini di Jakarta, Rabu (5/11).

Di film ini, tiga sahabat, Anto, Dimas dan Indra digambarkan sebagai generasi :mepet ekonomi’ yang memilih jalan pintas: menjual sate untuk setan demi harta, tahta, dan (tentu saja) wanita.

Kisah mereka menjadi refleksi satir atas fenomena budaya instandi masyarakat saat ini, di mana segala hal ingin dicapai cepat, bahkan kalau perlu lewat jalur gaib.

Etienne Caesar menegaskan, film ini bukan sekadar parodi pesugihan, tapi juga sindiran atas pola pikir masyarakat modern.

“Pesugihan itu kan cuma simbol. Yang kami angkat bukan mistisnya, tapi mentalitasnya. Bagaimana orang bisa kehilangan akal sehat demi hasil instan,” ucapnya.

Tak seperti film horor kebanyakan yang menonjolkan ketegangan, ‘Pesugihan Sate Gaga’  justru memanfaatkan kekuatan komedi lewat akting deretan komika papan atas seperti Ardit Erwanda, Yono Bakrie, Benidictus Siregar, Nunung, Firza Valaza, Arief Didu dan Ence Bagus.

Satu-satunya pemain non komika adalah Yoriko Angeline, yang berperan sebagai karakter penyeimbang di tengah kekacauan.

“Waktu pertama dengar judulnya, ‘Pesugihan Sate Gagak:, saya mikir: ini pesugihannya yang makan sate, atau gagaknya yang buka lapak?” canda Ardit Erwanda, yang sukses menggambarkan absurditas situasi dengan gaya khasnya.

Film yang diproduseri Aoura Lovenson Chandra dan Fauzar Nurdin ini adalah film yang ringan tapi tetap punya makna.

“Bisa dikatakan 70 persen film ini komedi, dan 30 persen sisanya berunsur klenik. Tujuan kami sederhana: bikin orang tertawa lepas, tapi juga mikir, jangan-jangan kita sendiri sedang sibuk ‘berpesugihan’ dalam hidup modern,” kata Aoura.

Sementara Dono Pradana, komika dan penyiar asal Jawa Timur yang sebelumnya dikenal lewat Bondo Wani, Yowis Ben the Series, dan Lara Ati ini menambahkan, proses kreatif film ini lebih gila dari ritual pesugihan itu sendiri. Ia mengaku ingin penonton bisa ngakak dan merinding dalam satu tarikan napas.

Secara tematik, ‘Pesugihan Sate Gagak’ bisa dibaca sebagai metafora tentang kapitalisme ekstrem dan obsesi manusia terhadap kemakmuran instan.

Burung Gagak, simbol kesialan dalam mitologi Jawa diubah menjadi alat transaksi dengan dunia gaib, dan dalam film ini, menjadi bahan olok-olok terhadap sistem yang menuntut manusia untuk terus “menjual sesuatu”, bahkan jiwanya sendiri.

Pendekatan komedi gelap seperti ini bukan hal baru, tapi di tangan Dono dan Etienne, ia tampil segar. Mereka memadukan folklore lokal dengan gaya mockumentary absurd khas stand-up scene Surabaya, menjadikannya salah satu proyek film paling unik di 2025.

Dijadwalkan tayang di bioskop pada 2025, ‘Pesugihan Sate Gagak’ menjanjikan tawa yang getir, tawa yang membuat kita sadar bahwa terkadang, dunia nyata tak kalah absurd dari dunia gaib.

Atau seperti kata Dono Pradana jika film ini bukan melulu soal setan yang beli sate, tapi tentang manusia yang rela menjual apa pun demi kaya cepat.

Bedanya, mereka di film tahu mereka gila, lalu kita? (NVR)

By editor2