JAKARTA, AKURATNEWS.co — Dunia musik Indonesia tengah diguncang isu besar yang menyentak para pelaku industri kreatif.

Tujuh orang pencipta lagu ternama secara resmi mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik serta Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) No. 27 Tahun 2025 sebagai aturan pelaksanaannya.

Langkah hukum ini mereka tempuh karena kedua regulasi tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya terkait keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dianggap tidak memiliki dasar hukum dan telah keluar dari tujuan pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Menurut para pemohon, LMKN saat ini justru telah menimbulkan kekacauan dalam pengelolaan royalti yang seharusnya dikelola “dari, oleh, dan untuk pencipta lagu”, bukan oleh lembaga yang berada di luar kendali para pemilik hak cipta.

Salah satu pemohon, Eko Saky, pencipta lagu legendaris “Jatuh Bangun”, menegaskan bahwa sejak awal pembentukan LMKN sudah tidak sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 2014.

“LMKN sejak awal sudah tidak sesuai dengan UU Hak Cipta. Maka tidak heran jika dalam perjalanannya, lembaga ini justru menimbulkan banyak persoalan dan keresahan di kalangan pencipta lagu,” ujarnya saat ditemui di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Kamis malam (30/10).

Eko juga menyebut Kementerian Hukum telah melakukan penunjukan komisioner LMKN secara tertutup dan terkesan terburu-buru.

“Menteri menunjuk langsung komisioner tanpa proses yang terbuka. Lebih parah lagi, beberapa nama ternyata adalah staf khusus menteri yang kini merangkap jabatan sebagai komisioner LMKN,” lanjut Eko.

Selain itu, Eko Saky merasa gerah dengan adanya tindakan oknum pejabat yang melakukan tekanan kepada LMK,

“Dengan tegas, saya mempertanyakan kehadiran sejumlah nama yang bukan berasal dari pencita lagu atau pemusik, tetapi dari kementerian, mengapa bisa ditunjuk menjadi komisioner LMKN?. Seharusnya pemerintah hadir sebagai regulator dan pengawas, bukan sekaligus menjadi pelaku. Bagaimana mungkin regulator mengawasi dirinya sendiri? Ini jelas menyalahi prinsip check and balance,” kata Eko.

Para pemohon juga menyoroti langkah LMKN yang mengeluarkan Surat Edaran No. SE.06.LMKN.VIII-2025, yang isinya mencabut kewenangan LMK untuk menarik dan menghimpun royalti. Menurutnya, kebijakan ini sangat fatal dan berdampak luas pada seluruh ekosistem musik nasional.

Menurtnya tindakan LMKN ini merusak tata kelola royalti. Pertama, para pencipta lagu kini hidup dalam kecemasan, tidak yakin apakah royalti mereka akan diterima tahun ini. Kedua, hubungan antara LMK dan para pencipta menjadi renggang. Ketiga, para pengguna lagu — mulai dari rumah karaoke, café, pub, promotor hingga event organizer — kini kebingungan harus berurusan dengan siapa,” katanya lagi.

Selain itu mereka  juga sempat menyinggung pernyataan pribadi dari salah satu pejabat yang diduga memerintahkan penghentian penarikan royalti oleh LMK.

“Sufmi Dasco sebagai pribadi bisa memerintahkan LMK untuk menghentikan penarikan dan penghimpunan royalti. Apakah perintah itu sudah dipikirkan dampaknya bagi perekonomian para pencipta lagu?!” ujar Eko dengan nada kecewa.

Kritik serupa datang dari musisi Ari Bias, yang juga menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik pada Sabtu (25/10) lalu.

Menurut Ari, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, kewenangan menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti diberikan secara tegas kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), bukan LMKN.

Akan tetapi, melalui PP Nomor 56 Tahun 2021, LMKN justru ditempatkan pada posisi yang mengambil alih sebagian besar fungsi dan kewenangan LMK, sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara norma undang-undang dan pelaksanaannya.

“Saya mendukung langkah rekan-rekan pencipta untuk mengajukan uji materi ke MA demi meluruskan amanat UU Hak Cipta,” kata Ari Bias.

Sementara itu, Ali Akbar, salah satu pemohon yang juga dikenal sebagai pencipta lagu untuk grup legendaris God Bless dan Gong 2000, menjelaskan bahwa UU No. 28 Tahun 2014 hanya memberikan kewenangan kepada LMK, bukan kepada entitas lain seperti LMKN.

“Pengelolaan royalti merupakan ranah hukum perdata (privaatsrecht), bukan hukum publik (publiekrecht). UU Hak Cipta sudah jelas: hanya LMK yang berwenang. LMKN tidak disebut satu kali pun dalam undang-undang,” tegas Ali. Ia menambahkan bahwa kekeliruan pembentukan LMKN bermula sejak diterbitkannya Permenkum No. 29 Tahun 2014, yang dijadikan dasar oleh pemerintah untuk membentuk lembaga baru di atas LMK. “Padahal Pasal 93 UU Hak Cipta hanya memberi kewenangan kepada Menteri untuk mengatur tata cara penerbitan izin dan evaluasi LMK. Tidak ada mandat untuk membentuk lembaga lain seperti LMKN,” lanjutnya.

Ali menilai PP No. 56 Tahun 2021 dan turunannya justru memperparah kekeliruan tersebut karena menempatkan LMKN sebagai pihak yang mengatur dan mendistribusikan royalti, padahal secara hukum seharusnya dilakukan oleh LMK.

“Oleh sebab itu, kami ingin meluruskan. Kami ingin tata kelola royalti yang benar, adil, dan berkelanjutan agar sesuai dengan Undang Undang,  para pencipta lagu tidak terus-menerus dirugikan,” tegasnya.

Permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung ini telah terdaftar secara resmi dengan nomor register 5874-HUM-2510291110. Adapun ketujuh pemohon tersebut adalah Ali Akbar, Eko Saky, Vien Adiyanti, Rento Saky, Ugie Uturia, Arie Zain, dan Enteng Tanamal — yang juga menjabat sebagai Ketua Pembina LMK KCI.

Langkah ini diambil sebagai bentuk perjuangan moral dan hukum demi keadilan bagi para pencipta lagu Indonesia. “Ini bukan sekadar gugatan hukum, tapi perjuangan kami agar karya cipta yang menjadi denyut industri musik nasional dihargai dengan adil dan dikelola secara transparan,” ujar Ali menutup pernyataannya./Ib.

By Editor1