JAKARTA, AKURATNEWS – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diminta menolak permohonan hak uji materil terkait sistem pemilihan terbuka menjadi sistem pemilihan tertutup.
Hal ini ditegaskan anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Henry Indraguna lantaran Hakim MK memiliki kapasitas kenegarawanan yang mumpuni dan sangat paham bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan dalam pencerminan proses demokratisasi di Indonesia sudah seharusnya menyatakan menolak permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-undang (UU) Pemilu ini.
“Putusan Hakim MK sudah sepatutnya harus menolak permohonan uji materiil ini demi menjaga kedaulatan yang berada di tangan rakyat,” tegas pria yang juga Doktor Ilmu Hukum ini, Rabu (4/1).
Henry menjelaskan, sejak 2008 sistem pemilu Indonesia menganut sistem proporsional terbuka, yang diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan sejak 23 Desember 2008.
“Dengan begitu, permohonan hak uji materiil terkait sistem pemilihan terbuka menjadi sistem pemilihan tertutup sudah seharusnya dinyatakan di tolak, demi menjaga kedaulatan yang berada di tangan rakyat,” tandas Henry.
Untuk diketahui, ketentuan Pasal 168 Ayat 2 yang menyatakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan Sistem Proporsional Terbuka, berserta dengan ketentuan-ketentuan pasal terkait lainnya seperti ketentuan Pasal 342 Ayat 2, Pasal 352 ayat 1 huruf b Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3), telah sedang dimohonkan untuk diuji MK, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya Pemohon berpendapat bahwa UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Henry yang juga anggota Tim Ahli Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpes) menuturkan, pada dasarnya di dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008, tanggal 23 Desember 2008 juga telah sangat jelas dan terang dinyatakan sebagai berikut: Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih.
“Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak,” jelas Henry.
Saat ini, ada beberapa partai yang melayangkan uji materiil terhadap Pasal 168 ayat 2 Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2019 ke MK. Uji materiil ini mempersoalkan aturan sistem proporsional terbuka.
Menurut Henry, setelah diputus dan disahkan MK, hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final. Sekalipun dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, namun keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.
“Kepada Hakim MK agar jangan sampai ada kesan MK dapat ditekan atau dipengaruhi kekuatan politik tertentu yang getol dan sering mengusung sistem pemilu proporsional tertutup,” ujarnya.
Terkait adanya sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan MK pada 2008 lalu, apakah juga bisa digugat lagi di lain waktu, Henry menyebut hal itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim.
“Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan dan diputuskan MK. Kemudian lain hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan putusan MK terdahulu untuk mengugatnya lagi di kemudian hari. Sehingga dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia,” terang Henry. (NVR)