Oleh: Dr. Algooth Putranto
Warga biasa yang harus taat pajak
Pengajar Ilmu Komunikasi Pasca Sarjana Universitas Sahid
JAKARTA, AKURATNEWS – Sudah berpekan-pekan lini massa media, baik media sosial dan media arus utama dihiasi berita kebengisan anak pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Seolah takdir, kisah kebengisan itu dengan cepat menyambar direktorat yang sedang memburu para wajib pajak agar segera melaporkan diri.
Wajar para pembayar pajak jengkel karena disuguhi fakta Rafael Alun Trisambodo, sebagai Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II yang artinya Pejabat eselon III, bisa memiliki kekayaan mencapai Rp56 miliar.
Luar biasa karena kekayaan Rafael Alun Trisambodo itu hanya berselisih tipis dari total harta kekayaan Sri Mulyani setelah dikurangi utang ini sebesar Rp58 miliar. Luar biasa bikin jengkel karena—lagi-lagi kita disuguhi pameran kekayaan para pegawai DJP.
Bu Sri Mulyani yang besar di Semarang ini bukannya tak sigap menjawab sebal masyarakat yang sampai bercanda ogah melaporkan pajak. Sayang serupa orang panik, Bu Sri Mul dan tim-nya tidak secara taktis menjalankan strategi komunikasi krisis.
Krisis pada dasarnya merupakan sebuah situasi yang tidak terduga. Dampaknya jelas adanya ancaman terhadap legitimasi organisasi, adanya perlawanan terhadap misi organisasi, dan ketiga, terganggunya cara orang melihat dan menilai organisasi.
Benar bahwa Bu Sri Mulyani langsung mencopot Rafael Alun Trisambodo, bahkan yang bersangkutan langsung mengajukan pengunduran diri. Menempatkan posisi sebagai seorang Ibu, Sri Mulyani bahkan langsung menjenguk korban kebengisan tersebut.
Sayangnya di saat bersamaan—terima kasih para netizen—pertunjukan gaya hidup dari Dirjen DJP, Suryo Utomo terungkap lewat aksinya berkendara Harley Davidson bersama klub motor gede (moge) Blasting Rijder DJP, yaitu komunitas pegawai pajak yang menyukai naik motor besar
Pertunjukan itu ibarat bara amarah masyarakat belum padam justru disiram bensin. Masyarakat terpaksa disuguhi sarkasme mengingat moge Harley Davidson bukanlah barang yang murah. Bahkan gara-gara Harley, pejabat maskapai Garuda pun lengser dari jabatannya.
Jika melihat ke belakang, dalam hal pengelolaan krisis komunikasi di kementerian Bu Sri Mulyani–maaf saja–memanglah kurang becus. Jika melihat tren krisis yang mesti dihadapi Bu Sri Mulyani sebagai Menkeu bisa disimpulkan yah cenderung sekadar cuci piring lalu berharap waktu melupakan.
Bahkan jika dibedah dengan teori komunikasi krisis, krisis komunikasi yang terjadi pada Kementerian Keuangan ini tak pernah beranjak dari fase Pra-Krisis alias situasi serius mulai muncul dan organiasasi menyadarinya, tetapi situasi tersebut dibiarkan tanpa diambil tindakan pencegahan.
Misteri Brompton
Mengapa saya nilai Kemenkeu tidak mengambil tindakan pencegahan? Bahkan berujung blunder. Mari kita lihat salah satu kasus empat tahun ke belakang ketika rombongan Bu Sri Mulyani dan Kementerian Keuangan kembali ke Indonesia setelah melakukan dinas berupa pertemuan investor di Amerika Serikat pada November 2019.
Rombongan dinas Sri Mulyani yang menggunakan jasa penerbangan dari Qatar Airways dengan kode penerbangan QR0958 oleh petugas Bea Cukai didapati dua sepeda Brompton yang terdaftar sebagai barang bawaan di rombongan dinas Sri Mulyani.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Syarif Hidayat saat itu sempat bicara sepeda mewah itu bukan milik Sri Mulyani. Sepeda itu dibeli oleh salah satu anggota rombongan Sri Mulyani dalam dinas tersebut yang bersifat pribadi.
Uniknya, sepeda Brompton yang saat itu masih masuk barang muahal tersebut baru ditetapkan sebagai barang yang dikuasai Negara (BDN) pada September 2020 dan selanjutnya ditetapkan menjadi Barang Milik Negara (BMN) pada 11 Februari 2021. Siapa pelakunya? Sampai sekarang tidak jelas!
Belum juga kasus sepeda Brompton tuntas, publik lalu disuguhi kasus mega suap yang melibatkan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Angin Prayitno pada tahun 2021. Angin beserta antek-anteknya menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap Rp57 miliar. Beti alias beda tipis dengan kekayaan Bu Sri Mulyani.
Yang bikin sebel, sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP, Angin memerintahkan para Kasubdit dan Supervisor Tim Pemeriksa Pajak untuk menerima fee dari para wajib pajak yang diperiksa oleh Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat P2 pada Ditjen Pajak.
Seperti menjalankan Sila ke-5 Pancasila yakni Keadilan. Hasil duit itu dicak rata oleh Angin Prayitno. Separuh untuk dirinya dan para Kasubdit, separuh lagi untuk Tim Pemeriksa. Melihat modus kasus yang sidangnya masih berjalan ini, tak bisa disalahkan jika masyarakat berkesimpulan ad hominem.
Ad hominem, adalah sebuah strategi retorikal di mana seseorang menyerang pribadi. Ini rentan dilontarkan netizen yang maha benar dan saya lihat sedang dihadapi Bu Sri Mulyani dan pegawai DJP bahkan Kemenkeu bahwa mereka itu otomatis divonis masyarakat: ‘pokoknya ga bener’.
Padahal tak semua PNS dan ASN di Lapangan Banteng seperti itu yang ditudingkan masyarakat, penulis kenal beberapa PNS dan ya lebih yakin jauh lebih banyak PNS dan ASN di Kemenkeu yang bekerja dengan baik dan tulus demi negeri ini.
Bagaimana agar kondisi ini tidak terus terjadi, kuncinya hanya dua. Pertama, memperkuat sistem pengawasan internal yang sudah ada. Kedua, persiapkan sistem komunikasi yang tangguh dan punya pengetahuan praksis komunikasi betulan. Bukan sekadar staf khusus main medsos.