Oleh: Wem Fauzi

JAKARTA, AKURATNEWS – Sejak Joko Widodo menjabat sebagai Presiden RI ke-8 pada tahun 2014, pembangunan infrastruktur menjadi program prioritas yang dikemas dalam terminologi Nawacita atau 9 program utama.

Joko Widodo alias Jokowi menawarkan model pembangunan yang lebih luas dan menganut paradigma baru, antara lain memperluas pemerataan pembangunan, mengurangi pengabaian pelayanan publik, membangun kemandirian ekonomi, serta meneruskan restorasi bangsa. Sehingga menjadi gambaran umum bahwa sepanjang hamper dua periode berkuasa, Indonesia sangat agresif dalam pembangunan infrastruktur yang sebagiannya dikategorikan dalam PSN (Proyek Strategis Nasional).


Langkah Jokowi bisa dilihat sebagai upayanya menyeimbangkan posisi middle power Indonesia di dunia Internasional. Posisi dimana Indonesia suka atau tidak menjadi rebutan pengaruh antara kekuatan lain yang lebih besar, seperti Barat yang diwakili AS serta Eropa dan Cina dipihak lain sebagai kekuatan baru yang perlahan mulai meningkatkan pengaruhnya di kancah global. Sehingga suka atau tidak, Indonesia sedang ditarik dalam ruang lingkup pengaruh AS yang pengaruhnya telah memudar di Afrika dan Timur Tengah.

Baca Artikel Lainnya: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Terima Berkas Penganiayaan David Ozora

Sayangya agresivitas pembangunan infrastruktur dalam kerangka PSN tidak diimbangi dukungan pendanaan memadai dan meniscayakan peran swasta dan utang asing. Sebuah pilihan yang pada bagian lain berkembang menjadi isu yang keluar dari konteks cita-cita pembangunan infrastruktur itu sendiri. Karena untuk mengejar ketertinggalan dalam aspek infrastruktur ini, Indonesia butuh pendanaan besar yang tak sepenuhya bisa diperoleh melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Solusi yang diambil adalah dengan, mengundang investor atau hutang ke negara lain termasuk Cina yang hadir dengan program Belt and Road Initiative (BRI) nya.


Dalam periode Januari-Juni 2022, total investasi negara ini tercatat sebesar US$3,62 miliar dan tersebar dalam 1020 proyek. Angka itu hanya kalah dari tetangga Singapura yang masih jadi investor terbesar RI dengan besaran investasi sebanyak US$10,54 miliar.

Kebijakan ini membuat beberapa pihak mengkhawatirkan Indonesia bakal jatuh ke dalam jebakan utang atau debt trap. Meski fakta juga menyebutkan bahwa sebagian besar Afrika telah berubah menjadi lebih baik karena kehadiran negara itu di sana. Karena lewat BRI, Cina datang dan membantu pendanaan berbagai proyek pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi Afrika secara besar-besaran.

Baca Artikel Lainnya: Striker Timnas U-20 Sebut Polemik Penolakan Israel Rusak Impian Anak Bangsa

Sukses yang secara langsung menggerus pengaruh negara barat di kawasan tersebut. Itu dapat dilihat dari sebuah survey yang menyebut 60 persen orang muda Afrika, melihat Cina sebagai sahabat. Sementara AS dan Eropa dipandang sebagai negara yang tak menghormati penduduk benua itu.


Dengan perubahan tersebut, AS yang telah lama melihat Cina sebagai ancaman keamanan nasional seperti mendapat pembenaran. Untuk itu respon keras harus dibuat agar tantangan itu tak semakin besar di masa depan.

Perasaan terancam itu sendiri sudah ada sejak berakhirnya Perang Dunia II, saat mana selaku penentu arsitektur keamanan di kawasan Asia-Pasifik, AS membangun aliansi bilateral dengan lima negara: Jepang, Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Australia Perasaann serupa juga ditularkan ke negara sekutunya di Eropa, sehingga negara-negara di kawasan itu merasa perlu mengembangkan strategi Indo-Pasifik sendiri dan juga menawarkannya kepada ASEAN.


Indonesia yang letak geografisnya ada dalam silang persaingan tersebut memilih untuk membuat peta jalan sendiri dan menanggapi proposal AS tersebut dengan insiatiff yang disebut ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Prakarsa yang intinya menegaskan bahwa ASEAN lebih layak menjadi pusatnya alternatif keamanan inklusif dan tidak boleh masuk dalam satu blok yang hendak dibangun AS tersebut.

Baca Artikel Lainnya: Ary Egahni Anggota DPR RI Fraksi NasDem Ditetapkan Sebagai Tersangka Oleh KPK


Presiden AS Joe Biden telah menawarkan inisiatif Indo-Pasific yang berisi dorongan kerja sama ekonomi, keamanan, dan politik se kawasan serta mengatasi tantangan keamanan (menurut mereka dari Cina) di kawasan tersebut . Program ini mencakup peningkatan investasi AS, pembangunan infrastruktur, program pendidikan dan pelatihan, dan peningkatan kerja sama keamanan pertahanan. Untuk Indonesia sendiri, kerjasama yang ditawarkan AS antara lain adalah program pelatihan militer. Sedangkan untuk investasi dan ekonomi, proyek infrastruktur kerjasamanya dibalut dalam inisiatiif Indo Pacific Economic Framework For Prosperity (IPEF).


Karena menyadari proposal Indo-Pasific AS tersebut adalah cara lain AS untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan ini. Maka kepada Joe Biden Jokowi lebih berharap AS hadir dengan energi positif bagi perdamaian dan stabilitas sistem keuangan maupun untuk tercapainya efektivitas dalam kebijakan ekonomi. Sebuah penolakan halus yang menyempurnakan kegagalan inisiatif yang dibuat, karena berbagai pembiayan yang dijanjikan banyak yang tidak terlaksana.

Baca Artikel Lainnya: OCBC NISP Minta Perlindungan Hukum Pada Presiden Jokowi


Melihat Indonesia tak kunjung berjarak dengan Cina, AS mencoba masuk dengan cara lain yang lebih halus yakni melalui isu pelestarian lingkungan dan hak asasi manusia yang bersinggungan langsung dengan proyek infrastruktur yang sedang berjalan. Ini bisa terlihat dalam isu yang diangkat oleh sejumlah LSM asing dalam pembangunan PLTA Batangtoru di di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Untuk diketahui, proyek ini masuk kategori PSN karena menjadi bagian dari proyek nasional pembangkit listrik total kapasitas 35.000 MW dan pembangunannya dilakukan oleh PT North Sumatra Hydro Energy (PT NSHE).


PLTA yang berkapasitas 4×127,5 MW ini menelan investasi sebesar USD 1,6 miliar dollar atau setara Rp21 triliun dan diharapkan selesai pada tahun 2025 mendatang. Saat beroperasi, total listrik yang diproduksi mencapai 510 MW dan itu mampu memenuhi kebutuhaun listrik bagi sekitar 2 juta rumah tangga di Sumatera Utara.

Keberadaannya juga bisa mengurangi emisi gas rumah kaca karena energi air yang digunakan bersifat terbarukan. Pendiriian PLTA ini adalah juga upaya lain pemerintah dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam menghasilkan listrik dan mengejar target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain juga untuk meningkatkan akses listrik bagi masyarakat yang berujung pada penguatan konektivitas nasional.

Baca Artikel Lainnya: Anggota DPR Minta Menkopolhukam Tak Mundur Ungkap Dugaan Korupsi Rp 349 Triliun


Namun upaya preventif lewat informasi ke masyarakat luas bahwa proyek yang menggunakan sungai Batangtoru ini tidak akan sampai merusak lingkungan maupun satwa dilindungi ternyata tidak cukup. Karena beberapa LSM asing seperti Rainforest Action Network (RAN) dan International Rivers yang bermarkas di AS, atau Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), LSM asal Swiss, serta Greenpeace cabang Indonesia melontarkan sejumlah tuduhan yang sayangnya tak sesuai fakta. Misalnya lahan yang dipakai cuma 122 hektar, bukan 7000 hektar seperti dituduhkan.

Atau pembangunan ini menjadi ancaman kawanan orangutan Tapanuli yang ada di sekitar Kawasan pembangunan PLTA. Sehingga dengan konsep pembanguna yang dibuat untuk proyek ini, PLTA Batangtoru justru mampu menyerap emisi karbon sebesar 1,6 juta MT per tahun atau setara dengan penyerapan oleh 12,3 juta batang pohon atau hutan seluas 120 000 Ha.


Tak kurang dari pegiat lingkungan Emmy Hafild turut membantah. Menurutnya justru lewat PLTA itu, orangutan tapanuli yang hampir punah dapat lahan untuk berkembang. Karena hutan 650 hektar untuk proyek ini akan tumbuh lebih baik daripada sebelumnya.

Baca Artikel Lainnya: Bawaslu Selidiki Dugaan Pelanggaran Elite PDIP Bagi-bagi Amplop di Masjid


Jika menelisik tiga LSM asing yang gencar memprotes pembangunan PLTA Batangtoru, maka bisa ditarik satu benang merah yang mempersatukan mereka. Menurut mereka kehadiran pihak asing yang datang untuk PLTA ini adalah mereka yang berniat menghancurkan lingkungan. Kehancuran yang pada gilirannya akan membuat kerugian ekonomi lebih besar mengingat hutang yang diberikan dan itu berasal dari pemerintah Cina, sehingga kekhawatiran tentang Debt trap adalah nyata.


Terlepas dari klaim independensi yang dinyatakan mereka lewat situs resminya, namun bahwa pemerintahan negara-negara barat dan AS punya kesamaan pandangan dalam isu lingkungan dengan yang disuarakan terhadap Indonesia juga tidak bisa diabaikan. Pemerintah AS banyak terlibat dalam berbagai forum internasional terkait perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.

Bahasan terkait pembangunan yang bersinggungan dengan lingkungan di Indonesia sering menjadi topik utama. Untuk negara-negara Eropa, dukungan serupa juga tak kalah besar. EU (European Union) yang terdiri dari 27 negara membuat regulasi ketat terhadap impor produk-produk yang terkait dengan deforestasi di negara dunia ketiga, seperti produk-produk perkebunan kelapa sawit.

Karena melalui berbagai kampanye yang dilakukan, mereka berharap produk Indonesia melemah dan tak bisa bersaing di pasar global. Sebuah dugaan yang masih bicara aspek ekonnomi, yakni tentang siapa yang jadi pengendali komoditas alam yang sampai saat ini masih jadi keunggulan indonesia.

Baca Artikel Lainnya: Klasemen Sementara MotoGP 2023 Usai Balapan Portugal


Sepintas, kampanye LSM tersebut terlihat ideal dan bebas dari kepentingan bisnis. Apalagi dikatakan bahwa masalah lingkungan dan perubahan iklim sudah jadi isu global. Dengan begitu, mereka merasa punya tanggungjawab melindungi hutan-hutan di Indonesia sebagai sumber karbon dunia untuk untuk mengurangi parahnya dampak emisi gas rumah kaca di benua tersebut Maka isu kerusakan alam dan lingkungan yang dihembuskan LSM asing terhadap PLTA Batangtoru bersinggungan dengan upaya menjauhkan Indonesia dari transformasi ekonomi lewat pembangunan infrastruktur yang didanai Cina tersebut.


Dengan demikian, alih-alih membantu lewat Indo-Pasifik yang masih berbentuk rencana di atas kertas, mendukung LSM dengan isu lingkungan dan menjadi alat penekan terhadap pemerintah, sambil mendesak moratorium konversi hutan dan lahan gambut bisa jadi alternatif. Sambil berharap, dengan ongkos kecil yang dikeluarkan, ambisi besar yang diimpikan bisa diwujudkan lewat LSM tersebut……

ngarepnya siih,,,gitu…!!!.
Wem Fauzi adalah mahasiswa Pasca Sarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina./Ib

By redaksi