JAKARTA, AKURATNEWS.co – Suasana haru menyelimuti ballroom sebuah hotel di Jakarta, Senin (3/11).

Tepuk tangan panjang terdengar ketika Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdiri di samping sang penulis, Merry Riana untuk meluncurkan buku terbaru berjudul ‘The Mentor: 9 Purnama di Sisi SBY’.

Namun di balik senyum dan kehangatan, terselip kisah duka yang pernah menyelimuti keluarga besar Cikeas, masa yang oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) disebut sebagai masa dua tahun Cikeas gelap.

Dalam sambutannya, AHY mengenang masa-masa sulit yang dialami keluarga Yudhoyono setelah kepergian Ani Yudhoyono pada 2019.

Rumah mereka yang dulu menjadi pusat kegiatan politik dan kebersamaan, mendadak terasa sepi.

“Kami menjadi saksi dua tahun gelap, Cikeas gelap. Seperti hilang auranya. Dulu tempat itu adalah salah satu pusat kekuatan politik di Indonesia. Tapi setelah Ibu pergi, rumah itu seperti kehilangan energi,” cerita AHY.

Bagi AHY, duka itu bukan hanya kehilangan seorang ibu, tapi juga menyaksikan sang ayah, seorang negarawan yang tegar terpuruk dalam kesedihan mendalam.

“Kami semua terpukul, tapi lebih sedih lagi melihat Pak SBY yang begitu terpukul,” lanjutnya.

Namun, seperti yang diceritakan AHY, SBY perlahan bangkit. Ia menyalurkan kesedihannya dalam karya. Dari melukis, menulis puisi, menciptakan lagu, hingga mendirikan klub bola voli LavAni yang kini telah empat kali menjuarai liga nasional.

“Beliau bukan hanya melewati masa sedih, tapi juga mentransformasikan diri. Dari seorang pemimpin menjadi seniman. Dari luka menjadi lukisan, dari kehilangan menjadi kekuatan,” kata AHY.

Kisah transformasi inilah yang kemudian menjadi napas utama dalam buku ‘The Mentor’.

Merry Riana menulisnya bukan sebagai biografi, tapi sebagai refleksi nilai-nilai kepemimpinan, keteguhan, dan ketenangan seorang mentor yang bernama Susilo Bambang Yudhoyono.

“Buku The Mentor ini tidak pernah saya rencanakan. Tapi hidup tidak selalu berjalan dengan rencana. Kadang, ia datang sebagai panggilan hati,” ungkap Merry Riana.

Dalam perjalanan barunya menelusuri dunia pemerintahan dan nilai kepemimpinan, Merry mengaku resah melihat dunia yang “terlalu bising” oleh citra dan kuasa.

Ia ingin menulis tentang ketulusan, keseimbangan, dan prinsip, tiga hal yang ia temukan dalam sosok SBY.

“Bukan tentang kekuasaan, tapi tentang nilai. Bukan teori, tapi kehidupan nyata seorang pemimpin bangsa,” katanya.

Salah satu momen paling menyentuh dalam acara peluncuran itu terjadi ketika SBY memberikan lukisan karyanya sendiri kepada Merry dan suaminya, Alva Tjenderasa.

Lukisan itu berjudul The Light of Hope, menggambarkan rembulan di tengah malam, simbol keteduhan setelah masa kekuasaan.

“Dalam hidup, kita memerlukan kekuatan seperti matahari. Tapi setelah semua pergulatan, kita juga butuh keteduhan rembulan. Semoga The Mentor membawa keteduhan kepada hati kita semua,” tutur SBY.

Lukisan itu bukan hanya hadiah, tapi simbol hubungan dua generasi: seorang mentor dan murid yang disatukan oleh nilai dan cinta pada bangsa.

SBY, dalam refleksinya, menyebut The Mentor sebagai karya yang menyentuh batinnya.

“Sebuah buku yang indah sekali… Saya membaca sampai teraduk-aduk hati dan pikiran saya,” ucapnya.

Ia mengaku menangis saat membaca bab keenam: Purnama ke-6 yang mengisahkan perjuangan dirinya melewati masa kehilangan Ani Yudhoyono.

Bagi SBY, kepemimpinan sejati bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang nilai.

“Kuasa bisa berakhir, tapi nilai sejati tak pernah mati,” ujarnya penuh makna.

Acara peluncuran ‘The Mentor’ juga menjadi pertemuan lintas generasi. Hadir di antaranya Boediono, Yenny Wahid, Ilham Habibie, Chairul Tanjung, James Riady, Hermanto Tanoko, hingga Raffi Ahmad dan Atta Halilintar.

Masing-masing menerima buku bertanda tangan langsung dari SBY sebagai simbol persahabatan dan penghargaan lintas zaman.

Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya bahkan menyebut karya ini sebagai puncak storytelling yang bukan hanya menginspirasi, tapi menggerakkan.

Di penghujung acara, Merry menyinggung sosok Ani Yudhoyono, yang pernah berpesan agar suatu hari SBY menulis memoar kehidupannya.

“Saya tahu itu harapan yang sangat pribadi. Maka saya berharap The Mentor ini bisa menjadi awal, atau setidaknya mewakili sebagian dari harapan itu,” ujarnya.

Kalimat itu disambut haru. Banyak mata yang berkaca-kaca. Seolah setiap halaman The Mentor menjadi doa yang hidup tentang kehilangan, cinta, dan kebangkitan.

Merry menutup pidatonya dengan kalimat yang kini menjadi mantra buku itu:

“Semoga The Mentor menjadi cahaya kecil yang terus menyala, dari purnama ke purnama, dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.” ucapnya lagi.

Di tengah tepuk tangan panjang malam itu, satu hal menjadi jelas, kisah tentang SBY bukan sekadar tentang seorang mantan presiden, melainkan tentang manusia yang pernah jatuh, lalu berdiri kembali. (NVR)

By editor2