JAKARTA, AKURATNEWS.co – Wacana pengajuan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar TNI (Purn.) Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali memicu perdebatan sengit di tengah publik dan kalangan politik.

Usulan ini, yang diajukan berbagai pihak, dinilai telah memenuhi syarat formal, namun di sisi lain mendapat penolakan keras dari kelompok masyarakat sipil dan aktivis HAM.

Kementerian Sosial (Kemensos) telah memastikan bahwa nama Soeharto termasuk dalam daftar yang diusulkan dan akan dikaji oleh Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa.

Kontroversi muncul karena Soeharto adalah tokoh sentral di masa Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, meninggalkan warisan pembangunan sekaligus catatan pelanggaran HAM.

Para pendukung usulan tersebut, termasuk tokoh politik dan militer, berargumen bahwa jasa Soeharto terhadap negara sangat besar dan tidak bisa diabaikan.

Soeharto dianggap berjasa besar dalam mengangkat Indonesia dari negara miskin menjadi negara berkembang melalui pelaksanaan Trilogi Pembangunan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Puncak prestasinya adalah pencapaian status Swasembada Beras pada tahun 1984.

Peran Soeharto dalam operasi militer, terutama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dan memimpin Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat, dianggap krusial dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.

Keberhasilannya menumpas Gerakan 30 September (G30S) dianggap sebagai tindakan tegas yang menyelamatkan bangsa dari ancaman ideologi komunisme dan menjaga stabilitas politik jangka panjang.

Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan sempat mengajukan agar Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang secara eksplisit menyebut nama Soeharto terkait KKN, dinyatakan sudah dilaksanakan, sebagai upaya untuk memenuhi syarat administratif pengajuan gelar.

Di pihak lain, aktivis HAM, korban kekerasan Orde Baru, dan sejumlah sejarawan menolak usulan tersebut, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto adalah cedera terhadap semangat Reformasi.

Kritik utama berpusat pada serangkaian dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi selama masa pemerintahannya, seperti Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus), Tragedi Tanjung Priok, hingga penghilangan aktivis menjelang 1998. Mereka menuntut kasus-kasus ini diselesaikan terlebih dahulu.

Soeharto dicatat sebagai pemimpin yang mempraktikkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) secara terstruktur dan masif, yang menjadi alasan utama tuntutan reformasi 1998.

Penolakan menilai, seorang pahlawan nasional seharusnya memiliki integritas yang tidak tercela. Pemberian gelar kepada sosok yang meninggalkan jejak otoritarianisme dan KKN dikhawatirkan akan membenarkan kejahatan negara di masa lalu.

Seorang sejarawan dari UGM menyatakan bahwa pandangan terhadap sejarah Soeharto tidak bisa hanya “hitam-putih,” namun kepahlawanan sejati menuntut nurani yang harus diuji secara publik dan transparan.

Saat ini, nasib pengajuan Soeharto berada di tangan Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa yang akan mengkaji secara mendalam aspek jasa dan kontroversi yang melingkupinya. Hasil kajian dewan ini akan diserahkan kepada Presiden untuk diputuskan secara prerogatif, biasanya menjelang Peringatan Hari Pahlawan 10 November.

Polemik ini kembali mengingatkan bangsa Indonesia bahwa rekonsiliasi sejarah dan keadilan bagi korban masa lalu masih menjadi PR besar yang belum tuntas di era Reformasi./Ib.

By Editor1