JAKARTA, AKURATNEWS.co – Mayoritas masyarakat mendukung revisi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) demi mewujudkan penyidikan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.

Hal ini tercermin dari survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan tingginya harapan publik terhadap pembaruan sistem hukum acara pidana yang dinilai masih memicu praktik-praktik pungli dan ketimpangan kewenangan antar aparat penegak hukum.

Survei yang digelar pada 22–26 Maret 2025 ini memperlihatkan bahwa 86 persen responden menginginkan adanya saluran alternatif pelaporan kejahatan, khususnya jika laporan mereka tidak ditindaklanjuti aparat dalam kurun waktu 14 hari. 38,8 persen responden bahkan menyebut keberadaan saluran tersebut sebagai kebutuhan yang sangat penting.

“Masalahnya selama ini, kalau tidak viral, maka tidak ada keadilan. Harus ada mekanisme kontrol ketika laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti,” ujar Peneliti LSI, Yoes C. Kenawas saat merilis hasil survei LSI di Jakarta, Minggu (13/4).

Salah satu isu krusial dalam revisi RUU KUHAP adalah kesetaraan kedudukan antar penyidik. Sebanyak 61,6 persen responden mendukung agar penyidik dari lembaga seperti kejaksaan, BNN, dan PPNS memiliki kedudukan setara dengan penyidik Polri. Ini menjadi sinyal kuat bahwa publik menginginkan distribusi kewenangan yang lebih adil dalam proses penyidikan.

“Masyarakat tidak ingin semua kewenangan penyidikan terpusat hanya pada satu lembaga. Ini soal check and balance antar institusi,” tambah Yoes.

Dalam konteks perlindungan hak warga negara, dukungan masyarakat juga terlihat pada aspek restorative justice, pendampingan hukum, hingga transparansi informasi perkara.

Survei LSI ini sendiri mencatat:

  • 89 persen setuju setiap penggeledahan disertai surat izin dan disaksikan saksi netral.
  • 82 persen mendukung penyelesaian kasus ringan di luar pengadilan dengan aturan yang adil.
  • 80 persen setuju semua tersangka harus didampingi penasihat hukum.
  • 79 persen mendorong ketersediaan informasi perkara kriminal secara digital dan terbuka.

Tak hanya itu, 78 persen responden menilai semua bukti harus diperoleh sesuai prosedur hukum, dan tindakan paksa seperti penangkapan harus melalui pengujian pengadilan. Dukungan terhadap mekanisme keberatan terhadap pemanggilan aparat juga mencapai 78 persen.

Salah satu dorongan terbesar publik terhadap revisi KUHAP adalah mereduksi stigma bahwa keadilan hanya bisa diperoleh lewat ‘bayar membayar’. Praktik koruptif di lapangan telah memunculkan jargon populer seperti ‘bayar polisi, bayar jaksa’.

Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto yang juga menjadi pembicara menegaskan, jika KUHAP yang baru mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, maka stigma ini bisa ditekan.

“Harapannya, KUHAP yang baru menjamin hak warga ketika berhadapan dengan hukum. Dengan transparansi dan akuntabilitas, tidak ada lagi celah untuk pungli,” ujar Bambang.

Ditambahkan Yoes, indikasi adanya kekhawatiran publik juga tampak dalam survei, di mana sebagian masyarakat menyatakan pernah diminta membayar biaya tambahan oleh aparat.

Sekitar 19,8 persen responden menyatakan mereka atau orang terdekatnya pernah berurusan dengan aparat penegak hukum. Banyak dari mereka merasa belum memahami secara mendalam proses mendapatkan keadilan secara adil dan transparan.

Meski penting, pembahasan RUU KUHAP masih belum menyentuh kesadaran publik. Hanya 29,7 persen responden mengetahui bahwa DPR dan pemerintah tengah membahas revisi KUHAP, sementara 70,3 persen lainnya tidak tahu.

“Miris sekali. Padahal KUHP baru akan berlaku 1 Januari 2026. Kalau tidak ada hukum acara, KUHP bisa jadi ancaman karena tidak operasional. Revisi KUHAP ini sangat penting untuk menjamin pelaksanaan hukum yang adil,” ujar Bambang Rukminto.

Ia mengingatkan pentingnya pengawasan publik agar tidak ada lembaga penegak hukum yang memiliki kekuasaan absolut yang berisiko disalahgunakan.

Dijelaskan Yoes, survei LSI juga menemukan penurunan tingkat kepercayaan terhadap aparat penegak hukum:

  • Kejaksaan Agung masih tertinggi di angka 75 persen (turun 2 persen),
  • KPK 68 persen (turun 4 persen),
  • Polri 65 persen (turun 6 persen).

Penurunan ini paralel dengan penilaian publik atas penanganan aparat yang melakukan pelanggaran hukum. Sebanyak 50,3 persen responden menyebut prosesnya tidak transparan, dan 54,9 persen menganggap sanksi etik saja tidak cukup.

LSI juga mencatat fenomena intimidasi terhadap masyarakat yang mengkritik aparat, seperti dalam kasus Band Sukatani atau video viral patroli pengawalan. Sekitar 47,4 persen publik melihatnya sebagai bentuk tekanan atas kebebasan berpendapat.

Survei ini sendiri dilakukan melalui wawancara telepon dengan 1.214 responden, yang diambil secara acak dari database hasil survei tatap muka sebelumnya. Margin of error survei sebesar ±2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dengan temuan ini, LSI mendorong semua pihak untuk membuka ruang partisipasi publik yang lebih besar dalam revisi KUHAP.

“Isu ini terlalu penting jika hanya dibicarakan di tingkat elit. Harus ada keterlibatan masyarakat agar KUHAP benar-benar bisa jadi instrumen keadilan yang partisipatif dan demokratis,” tutup Yoes. (NVR)

By editor2