JAKARTA, AKURATNEWS – Kisruh kasus tambang nikel PT Citra Lampia Mandiri (CLM) di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang berujung pada penetapan tersangka pada mantan Direktur Utamanya, Helmut Hermawan dalam kasus dugaan kriminalisasi pelanggaran UU Minerba berbuntut panjang.

Kuasa hukum PT CLM, Sadrakh Seskoadi menyatakan jika ada upaya pengambilalihan secara paksa tambang nikel ini oleh pihak-pihak yang ‘kuat’.

“Ada dua akte yang mendapat pengesahan dalam jangka waktu dekat disahkan oleh Ditjen AHU. Pengesahan ini membuat klien kami kehilangan dalam satu malam,” tandas Sadrakh di Jakarta, Senin (6/3).

Dibeberkannya, setelah akte disahkan, ada peningkatan aktivitas yang diduganya bermasalah.

“RUPS yang kami ajukan jadi ilegal, ada 10 laporan polisi ke pihak kami. Satu direksi jadi tersangka di Polda Sulsel dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU Minerba,” ujar Sadrakh.

Pihaknya ingin kasus ini dan yang terlibat diperlakukan secara adil, transparan dan akuntabel.

“Kami duga pelakunya bukan kacangan, karena terstruktur dan masif. Kami yakin ada oknum besar yang bermain di belakang kasus ini,” tandasnya.

Pihaknya kini tengah melakukan gugatan ke PTUN terkait pengesahan akta yang membuat perusahaan kliennya ilegal.

“Kami gugat ke PTUN soal pembatalan akte karena hal itu membuat perusahaan klien kami ilegal,” tandas Sadrakh.

Kuasa hukum PT CLM, Sadrakh Seskoadi dan Rusdianto Matulatuwa.

Untuk diketahui, setelah ditetapkan menjadi tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan pada 22 Februari 2023, mantan Dirut PT Citra Lampia Mandiri ini menarik perhatian publik.

Kuasa hukum Helmut, Sadrakh Seskoadi membeberkan awal mula munculnya kasus ini. Menurutnya, kasus ini bermula saat PT Asia Pasific Mining Resources (APMR) pemilik PT CLM pernah membuat kesepakatan secara perdata bersama PT Assera dari pihak Zainal Abidinsyah.

Kesepakatan yang itu sifatnya peminjaman modal dengan opsi kompensasi pemberian saham. Namun perjanjian yang dimaksud, yang terjadi di 2019, tidak tercapai suatu kesepakatan.

“Mulanya ada pemberian USD2 juta itu sudah disampaikan, sisanya belum tersampaikan. Karena perjanjian sudah hampir masuk pada batas waktu yang ditentukan, mereka kembali membuat perjanjian perdata accesoir (tambahan) daripada perjanjian pokok yang pertama tadi,” kata Sadrakh.

Dalam perjalanannya, dua kesepakatan tersebut tidak ada yang terpenuhi, sehingga berujung pada gugatan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Namun, ketika proses gugatan di BANI, kedua pihak sudah menyelesaikan tahapan keputusan.

“Kesimpulannya di Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), putusan BANI telah dibatalkan oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun di perjanjian accesoir-nya, itu tidak berubah,” jelas Sadrakh.

Menurut Sadrakh, perjanjian accesoir yang disepakati tersebut menimbulkan kisruh. Alasannya, perjanjian tersebut memunculkan kekuatan eksekutorial, sehingga PN Jaksel menerima permohonan untuk melakukan eksekusi, yakni saham PT CLM.

Saat eksekusi dilakukan, terdapat multitafsir dalam berita acara. Sadrakh menyebut, pihaknya mengakui eksekusi yang dilakukan Senin 18 April 2022 tersebut, sudah berjalan tapi belum terlaksana.

“Kenapa belum terlaksana? Karena ketika dilakukan eksekusi, juru sita tidak berhasil menemui orang yang akan dieksekusi sahamnya. Namun, berita acara itu dicantumkan eksekutor ke dalam akta notaris nomor 6 tanggal 24 Agustus 2022, yang menyatakan tentang pernyataan perubahan RUPS,” bebernya.

Atas pencantuman itu, direksi yang diwakili Helmut, sempat meminta pemblokiran di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.

Karena terblokir, komposisi saham maupun direksi yang ada di AHU, tidak bisa dilihat oleh pihak ketiga.

Namun upaya itu tak membuahkan hasil karena hasil eksekusi yang dituangkan dalam akta notaris. Hal itulah yang membuka peluang kepada AHU untuk membuka blokir yang dilakukan kliennya.

“Karena blokirnya terbuka, maka pihak yang membuka dapat melihat isi dari komposisi di dalam PT APMR maupun PT CLM. Sehingga mereka melakukan perubahan, atas kepemilikan saham PT APMR,” ucap Sadrakh.

Masalah ini lalu berlanjut pada 13 September 2022, Ditjen AHU mengeluarkan pernyataan keputusan pemegang saham PT APMR sekitar jam 17.20 WIB sore.

Sadrakh menyebut, sebelum jam 20.59 WIB, terbit akta pengesahan dari AHU. Lalu, pada pukul 21.00 WIB, notaris mengeluarkan akta nomor 7 tentang keputusan para pemegang saham PT CLM.

Selanjutnya, sebelum pukul 23.59, AHU kembali menerbitkan pengesahan, sehingga memunculkan dua akte hanya dalam waktu tujuh jam. Akibatnya, lanjut Sadrakh, kliennya kehilangan komposisi saham juga posisi pada direksi.

Beberapa hari kemudian, mereka mendaftarkan akta tersebut. Sementara akta dari Helmut yang sudah didaftarkan terlebih dahulu, justru di-takedown.

“Karena sudah takedown, tentu secara legalitas formil, membuat hak saham ada pada sisi mereka. Nah, kami yang awalnya ada menjadi tidak ada dan ilegal,” ujarnya.

Kuasa hukum Helmut lainnya, Rusdianto Matulatuwa mengungkapkan sejumlah keanehan dalam kasus ini, yakni lahirnya suatu surat keputusan (SK) yang dikeluarkan Kementerian ESDM terkait RKAP yang terbit pada Sabtu 4 Februari.

“Akhirnya membuat kami disibukkan dengan urusan kepolisian. Hal ini juga menjadi perlu dipertanyakan kembali. Apakah 10 laporan yang berjalan masif dan bersamaan itu dapat dikatakan normal?,” kata Rusdianto.

Dalam kasus ini, Helmut Hermawan dijerat pasal atas Tindak Pidana yang dengan sengaja menyampaikan keterangan palsu sebagaimana dimaksud dalam 159 Jo Pasal 11O atau Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan/atau Pasal 263 ayat (1) KUHPidana. (NVR)

By Editor2