Oleh Benny Benke.
JAKARTA, AKURATNEWS – Robert R. Bianchi dalam buku yang ditulisnya berjudul “Guests of God: Pilgrimage and Politics in the Islamic World”, mengatakan, secara geografis dan budaya, ibadah haji hari ini hampir bersifat universal.
Dia mencatat, tingkat aktivitas haji tertinggi masih di negara-negara terdekat di kota Mekkah, atau tetangga Arab Saudi. Tetapi perjalanan udara memungkinkan umat Islam di seluruh Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika berpartisipasi melakukan ibada haji dengan frekuensi yang sama.
Menurut doktor ilmu Hukum di University of Chicago AS itu, prediktor atau variabel terkuat dari aktivitas haji adalah pendapatan per kapita suatu negara, daripada jarak dari Mekkah atau proporsi Muslim dalam populasi nasional.
Turunannya, ada sebuah negara, karena pendapatan per kapitanya tinggi dibandingkan negara lain, menanggapi biasa saja pengumuman resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia ihwal kenaikan biaya ibadah haji pada 2022, kemarin.
Tapi, negara dengan pendapat per kapita biasa saja atau rendah, menimbang pengumuman kenaikan biaya ibadah haji itu dengan cara yang tidak sama.
Sebagaimana laporan resmi yang dikeluarkan Al Jazeera pada 26 Juni 2022, harga ibadah haji naik di sejumlah negara Arab, dengan Qatar memegang harga rata-rata tertinggi dan Oman memegang harga terendah.
Atau secara terperi umat Islam di Qatar harus membayar ibadah haji sebesar $10.971, atau jika dikalikan Rp14.500, sama dengan Rp159.079.500,- diikuti oleh Emirat ($10.821) dan Tunisia ($9.884).
Sedangkan harga rata-rata terendah di antara negara-negara Arab bagi penduduknya yang ingin menunaikan ibadah haji adalah di negara Oman ($1.797), Yordania ($2.961) dan Arab Saudi $3.198 atau Rp46,371,000,-
Kenaikan biaya haji itu meningkat karena inflasi global, kenaikan harga penerbangan dan layanan wajib yang diperlukan untuk haji, serta kenaikan tarif PPN di Arab Saudi – rumah ibadah – dari 5% menjadi 15%.
Atau secara berurut ongkos rerata ibadah haji di negara Arab adalah; Qatar ($10.971), Emirates ($10.821), Tunisia ($9.884), Lebanon ($9.000), Maroko ($7.698), Kuwait ($7.578), Bahrain ($7.559), Mesir ($6.910), Palestina ($6.234), Aljazair ($5.853), Sudan ($5.447), Irak ($3.825), Suriah ($3.700), Yaman ($3.416), Arab Saudi ($3.198), Yordania ($2.961), dan Oman ($1.797 atau Rp26,056.500,-).
Sebagai catatan nilai satu dolar AS saat ini di angka Rp15.026, angka Rp14.500,- hanya asumsi positif belaka.
Dari sini kita bisa menangkap dengan lebih terang, mengapa Kementerian Agama mengklaim bahwa Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Indonesia paling murah di antara negara-negara Asean. Atau di angka biaya haji 2022 Rp39,8 juta, pada tahun 2022.
Atau sebagaimana laman resmi Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, pada tahun 2015-2018 saja, BPIH Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan biaya ibadah haji negara Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura.
Atau rerata biaya haji di Brunei Darussalam adalah $8.738 pada tahun 2015, $8.788 (2016), $8.422 (2017), dan $8.980 (2018).
Sedangkan di Singapura rerata di atas $5.000 atau pada tahun 2015 sebesar $5.176, $5.354 (2016), $4.436 (2017), dan $5.323 (2018). Diikuti Malaysia sebesar $2.750 (2015), $ $2.568 (2016), $2.254 (2017), dan $2.557 (2018).
Bandingkan dengan rerata biaya ibadah haji di Indonesia sebesar $2.717 pada 2015, $2.585 pada 2016, $2.606 pada 2017, dan $2.632 pada 2018, dengan total $400 dikembalikan kepada jemaah Indonesia untuk biaya hidup di Tanah Suci.
Atau dengan kata lain, Pemerintah, DPR, dan Badan Pengelola Dana Haji (BPKH) sebisa mungkin menetapkan biaya haji per tahunnya dalam batas kewajaran, dan berkeadilan bagi semua.
Usulan.
Sebagaimana kita ketahui bersama,
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut mengusulkan kenaikan BPIH dari Rp. 39.886.009,00 menjadi Rp. 69,193,733, atau 30 jutaan per Jemaah haji.
Usulan ini seketika memang menimbulkan pro dan kontra sebagaimana usulan dari pemerintah lainnya. Bahkan PAN, PKS dan PKB menolak keras usulan kenaikan BPIH ini. Meski PBNU dengan benderang memberikan dukungan langkah yang dilakukan Kemenag.
Dengan pertimbangan skema yang dilakukan Kemenag Cq pemerintah berdasarkan total BPIH Rp98.379.021,09, jumlah BPIH yang dibayar individu jemaah sebesar Rp69,193,733 (atau sekitar 70% dari total BPIH). Dengan demikian subsidi dari pemerintah dari dana BPKH Rp29,700,175, atau sekitar 30% dari total BPIH.
Dalam catatan Prof. Dr. H. Su’aidi, MA., PhD, Rektor UIN STS Jambi,
kenaikan yang diusulkan Kemenag berdasarkan beberapa pertimbangan.
Tentunya berkaitan dengan inflasi ekonomi global di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi. Serta kenaikan harga barang-barang dan layanan di dunia, serta perubahan nilai tukar uang, yang berimbas pada kenaikan harga tiket pesawat dari negara asal ke Mekkah atau Madinah.
Plus kenaikan ongkos pajak, pembayaran visa, sewa hotel dan tempat penginapan, konsumsi, serta ongkos pengunaan fasilitas-fasilitas haji di Mekah dan Madinah.
Serta usulan otoritas Kerajaan Saudi Arabia yang ingin meningkatkan pelayanan haji dari segi keamanan dan kesehatan, sehingga terjadi peningkatan biaya pelayanan haji.
Berdasarkan kondisi riil inilah, persentase kenaikan biaya haji berkisar antara 20% hingga 100%, dengan rincian: 20% untuk negara-negara Teluk; 50% untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia, dan 100% untuk Mesir, Pakistan, serta Algeria.
Dengan bahasa sederhana, bukan hanya Indonesia yang melakukan penyesuaian atau menaikkan BPIH-nya. Seluruh dunia melakukan hal yang sama. Dengan angka kenaikan yang bervariasi, berpulang pada pendapatan per kapita tiap negara.
Meski sejatinya, pemerintah Arab Saudi mengumumkan kenaikan biaya ibadah haji, seminggu sebelum keberangkatan jemaah haji kloter pertama pada musim haji 2022, toh pemerintah tetap belum menyesuaikan harga kenaikan itu. Atau bisa diartikan jemaah haji tahun 2022 mendapatkan subsidi sekitar 60 juta per jemaah haji dari negara.
Masih menurut Prof. Dr. H. Su’aidi, total BPIH tahun 2022 adalah Rp98.379.021,09 dengan komposisi: biaya yang dibayarkan individu jemaah (BPIH) adalah Rp39.886.009,00 (40,54%) dan subsidi sebesar Rp. 58.493.012,09 (59,46%).
Nah, pemberian subsidi ini tentu tidak bisa diterapkan untuk musim haji tahun 2023, karena: 1) subsidi yang diberikan pemerintah (sekitar 60%) jauh lebih besar dari yang dibayarkan jemaah (sekitar 40%) dan, 2) akan membani dana Jemaah yang dikelola BPKH
Jika subsidi atau beban dana BPKH jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan oleh individu jemaah, dinilai maka akan menyalahi prinsip fiqh tentang istithaah atau syarat kemampuan berhaji.
Meski beberapa negara, seperti India, Malaysia sampai Libya sekalipun masih memberikan subsidi untuk jemaah hajinya, dalam bilangan tertentu. Khusus untuk India, kebijakan subsidi ibadah haji dilaksanakan sejak jaman kolonial Inggris.
Meski di Inggris sendiri Ongkos Naik Haji atau ONH jemaah hajinya, pada tahun 2017 berkisar Rp112.198.578. Sedangkan jemaah haji dari India membayar sekitar Rp97.533.059, plus sejumlah subsidi.
Dari sejumlah data di atas, diakui atau tidak, ONH yang harus dibayar setiap jemaah haji asal Indonesia tetap relatif lebih kecil, jika dibandingkan negara jiran. (Bb).