JAKARTA, AKURATNEWS – Pengendalian harga yang diduga dilakukan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfhi disebut menjadi biang kerok terjadinya kelangkaan minyak goreng (migor).

Dari hasil studi analisisnya, James K. Galbraith, ekonom asal Amerika Serikat dalam tulisannya di New York Times mengatakan, ‘Price controls still a bad idea’.

Hal tersebut juga ditanyakan Kuasa Hukum Stanley MA, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group yang menjadi salah satu terdakwa kasus dugaan tindak pidana minyak goreng, Otto Hasibuan kepada saksi ahli Lukito terkait pengontrolan harga migor yang mengakibatkan kelangkaan, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (7/12).

Ditanya demikian, saksi ahli mengatakan, dirinya sependapat dengan pernyataan itu.

“Ya, bisa terjadi bila dilakukan pengontrolan harga,” ujar Lukito.

Otto menyebut, kebijakan pengontrolan harga yang dibuat Menteri Lutfhi telah membuat migor menjadi langka. Sebab penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang dikeluarkan membuat produsen enggan menjual produknya,”

Dijelaskannya, dalam dakwaan disebutkan ada kerugian perekonomian negara. Tapi, sampai sekarang tidak ada kejelasan rumusan untuk menyatakan bahwa benar ada kerugian perekonomian negara sebagai dampak dari kelangkaan migor tersebut.

“Saksi ahli di sidang kemarin menyatakan, indikator kerugian perekonomian negara diakibatkan naiknya inflasi dan tingginya tingkat kemiskinan. Tapi tidak ada yang menyatakan bahwa kerugian perekonomian negara diakibatkan karena kelangkaan migor. Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan dari para ahli terkait hal tersebut,” kata Otto, Kamis (8/12).

Ia menambahkan, dalam kasus ini tidak ada penegasan yang menyatakan bahwa ada kerugian perekonomian negara.

“Kalau hukum itu masih labil, dengan kata lain pasal karet ya tidak bisa diterapkan dong,” tegas Otto.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) ini melanjutkan, peraturan Mendag yang berubah-ubah telah melahirkan kekacauan.

“Contohnya, saat jam 00.00 WIB diberlakukan HET migor Rp14 ribu per liter. Beberapa jam sebelumnya, barang telah dijual ke distributor seharga Rp 17 ribu per liter dan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk selanjutnya di pasarkan. Kira-kira mau tidak distributor menurunkan harga menjadi Rp 14 ribu, sementara dia sudah beli dengan harga Rp 17 ribu? Tentu tidak mau. Kalau mau lakukan perubahan harga, aturan harus dikeluarkan setidaknya dua minggu sebelumnya, tidak bisa mendadak dan berharap distributor melakukan penyesuaian harga. Itu sama saja mau ‘membunuh’ distributor,” ucapnya.

Dengan tegas Otto mengatakan, jangan membebankan hal ini kepada produsen.

“Padahal yang salah adalah menterinya (pemerintah) sebagai pembuat kebijakan,” tandasnya.

Tak hanya itu, Otto juga mengungkapkan keanehan lain terkait perkara tersebut.

“Kok hanya mereka yang diperkarakan, sementara banyak produsen lain yang besar-besar juga melakukan hal yang sama. Karena kelangkaan migor yang berdampak pada larangan ekspor diakibatkan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah,” ujar Otto.

Harusnya, tambah Otto, Menteri Perdagangan dihadirkan guna memberi kesaksian sehingga semakin terang benderang.

“Pihak Kejaksaan harus memaksa Mendag Muhammad Lutfhi yang sudah tiga kali mangkir untuk hadir,” ucap Otto.

Dia melanjutkan, Stanley didakwa tidak bisa memenuhi domestic market obligation (DMO), sebagai salah satu persyaratan diberikannya izin ekspor.

“Kita sudah membuktikan di pengadilan bahwa DMO yang dimaksud sebesar 20 persen dari jumlah ekspor sudah dipenuhi oleh Permata Hijau Group untuk memenuhi pasar domestik. Dengan kata lain, karena DMO sudah dipenuhi, maka izin ekspor sudah bisa diperoleh,” kata Otto.

Dakwaan lainnya, Stanley dikatakan mempengaruhi Direktur Jenderal Perdagangan Lar Negeri (Dirjen Daglu) Indra Sari Wisnu Wardhana, untuk mengeluarkan Perizinan Ekspor (PE).

“Tidak ada satu saksi pun yang telah dihadirkan di persidangan menyatakan hal tersebut. Dengan kata lain dakwaan tersebut harusnya gugur,” tukasnya.

Dakwaan ketiga dikatakan, terjadi perubahan tentang rencana ekspor.

“Sekarang kan semua serba online. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sistem (channel) untuk melakukan pelaporan. Kalau tidak ada sistemnya ya mau melapor kemana? Dan lagi, tidak ada lagi kewajiban untuk melaporkan perubahan rencana ekspor karena peraturannya sudah dirubah,” jelas Otto.

Berkaca pada hal tersebut, sambung Otto, dakwaan yang disampaikan tidak ada yang memenuhi unsur.

“Sehingga sudah sewajarnya bila klien kami dibebaskan dari segala tuntutan hukum,” pungkasnya seraya berharap majelis hakim bisa secara jernih melihat persoalan ini secara komprehensif dan sesuai faktanya. (NVR)