JAKARTA, AKURATNEWS – Pemanfaatan energi harus didasarkan pada prinsip keadilan, bukan komunal, sehingga semua orang harus memiliki akses dan hak atas energi.
Inilah dasar mengapa dibutuhkannya banyak pembangkit listrik di tanah air untuk mencukupi kebutuhan energi lebih dari 200 jiwa masyarakat Indonesia.
“Jika di satu daerah ada potensi energi, sementara di daerah lain tidak memiliki potensi energi, maka daerah yang tidak memiliki potensi energi juga tetap harus dapat menikmati energi listrik. Di sinilah PLN atau negara hadir di sini untuk mengelola penyaluran listrik,” ujar Vice President untuk Konstruksi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero dalam kesempatan diskusi publik mengenai ekosistem Batang Toru di Jakarta, baru-baru ini.
Dalam diskusi yang dihadiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, ahli ekologi dan anggota DPR itu Weddy menjelaskan PLTA Batang Toru dibangun, karena Sumatera Utara memiliki sumber begitu banyak potensi sumber daya energi yang cukup besar, terutama air.
Banyak pihak, menurut Weddy, yang menilai Sumatera Utara telah mengalami surplus energi sehingga pembangunan PLTA Batang Toru tidak diperlukan dan dipertanyakan untuk siapa surplus daya listrik tersebut.
“Masyarakat perlu memahami soal surplus energi daya listrik, karena seringkali menjadi misleading. Indonesia negara kepulauan sehingga kalau misalnya disebutkan kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia, sebesar 50.000 MW sementara kebutuihan 40.000 MW, maka kelihatannya surplus 10.000. Padahal Indonesia negara kepulauan dan saat ini sistem kelistrikan Jawa Sumatera belum menyambung,“ ujarnya,
Terkait adanya dugaan dan tudingan PLTA Batangtoru yang sengaja dibuat untuk melayani industri bukannya untuk masyarakat, dengan tegas Weddy membantah.
“Saat ini 75 juta pelanggan PLN adalah rumah tangga. Jumlah itu mencakup 90 persen pelanggan perusahaan listrik negara ini dengan begitu sebenarnya jumlah pelanggan industri sangat kecil, sehingga listrik yang dihasilkan Batang Toru hadir untuk masyarakat bukan untuk industri,” tegasnya.
Hadirnya PLTA Batang Toru pada 2012 lalu menurutnya tidak serta merta tetapi memang sudah direncanakan secara matang, selain untuk menjamin kebutuhan listrik Sumatera Utara saat ini, juga sebagai persiapan di masa mendatang di mana Presiden Joko Widodo berupaya menggenjot pembangunan infrastruktur strategis, seperti transportasi dan listrik yang menjadi nilai jual untuk menarik investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri, menurut Weddy, berkomitmen memastikan Net Zero Emission tahun tahun 2060 dapat terwujud, di mana saat ini 80 persen pasokan PLN berasal dari PLTU.
“Tentunya memerlukan waktu dan tidak bisaa tergesa-gesa karena jika PLTU-PLTU itu langsung dimatikan untuk dikonversi ke EBT, maka tidak ada lsitrik dan tidak akan ada peradaban tanpa ada energi,” ucapnya.
Sementara dari sisi tarif, PLTA Batang Toru memiliki keekonomian yang tinggi karena lebih murah dibanding penggunaan energi yang ada.
“Saat ini tarif PLTA Batangtoru $12,86 sen per KWh atau sekitar Rp1.900, sementara solar Rp2.500 dan gas Rp.2.200. PLN sendiri menjual listrik kepada masyarakat Rp 1.400, yang tentu saja rugi, tapi itu bukti negara hadir untuk melayani masyarakat,” ujarnya.
Weddy yang sudah berkecimpung dalam pengembangan PLTA selama 15 tahun, menepis tudingan potensi kerusakan alam akibat pembangunan PLTA Batang Toru.
“Logikanya, penggunaan energi bersih harus diikuti konservasi, karena energi bersih tidak akan ada kalau alamnya rusak. Ini juga berlaku bagi pembangunan PLTA Batang Toru yang pembangunannya membutuhkan dana sangat besar, proses pembangunan yang lama, maka supaya bisa terus berjalan, maka catchment areanya atau daerah resapan airnya harus dijaga,” pungkasnya. (RISH)
Dengan demikian PLTA Batang Toru juga berkewajiban untuk menjaga kelestarian ekosistem, bukan saja di lokasi PLTA namun juga kelestarian alam seluruh ekosistem terutama di hulunya. “Kami sudah melihat PLTA Batang Toru sudah memiliki mitigasi untuk konservasi dan menjaga ekosistem Batang Toru,”
Terkait banyaknya topik, sebaiknya ada diskusi khusus per topik agar memiliki perspektif yang sama.
“Kami juga memahami adanya concern masyarakat yang kuat soal orangutan tapanuli dan berbagai isu lain yang muncul. Untuk itu, kami berharap dapat duduk bersama dan berdiskusi dengan materi tersendiri sehingga dapat memperoleh perspektif yang sama,” ujar Weddy.