JAKARTA, AKURATNEWS – Tim Asistensi Menko Perekonomian, Lin Che Wei (LCW) dituntut delapan tahun penjara subsider enam bulan kurungan dan denda Rp1 miliar dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya.

Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/12), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa LCW terbukti bersalah melanggar melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kuasa hukum LCW menilai, tuntutan JPU tidak berdasarkan pada fakta persidangan. Berdasarkan bukti dan keterangan saksi-saksi, termasuk saksi ahli di persidangan, tidak ada perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan LCW dalam penerbitan persetujuan ekspor CPO dan turunannya.

“Terdakwa tidak punya motif untuk melakukan korupsi dalam bentuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara. Motif terdakwa adalah membantu Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang kesulitan dan mendapat banyak tekanan akibat mahalnya harga sawit dunia, yang memengaruhi harga dan pasaran CPO maupun minyak goreng di Indonesia,” ujar kuasa hukum LCW, Maqdir Ismail, Sabtu (24/12).

Maqdir melanjutkan, kliennya tidak pernah melakukan perbuatan yang berdampak buruk bagi Kementerian Perdagangan maupun perbuatan melawan hukum atau dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan Peraturan Daerah.

“Terdakwa tidak punya kewenangan dan tidak menggunakan kedudukannya sebagai Tim Asistensi Menko Bidang Perekonomian untuk bertindak seolah-olah sebagai sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan Persetujuan Ekspor (PE) CPO. Dalam bukti komunikasi melalui pesan Whatsapp dengan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana, LCW secara tegas menolak untuk dilibatkan dalam proses PE karena mudah difitnah,” kata Maqdir.

Tim kuasa hukum LCW lainnya, Lelyana Santosa menyebut, LCW baru diundang secara resmi oleh Mendag Muhammad Lutfi untuk menjadi mitra diskusi tiga hari setelah Kemendag memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng pada 11 Januari 2022.

Menurutnya, LCW tidak pernah mengusulkan perubahan syarat persetujuan ekspor hanya berdasarkan realisasi distribusi DMO. Sementara usulan untuk mengembalikan persyaratan PE dalam Permendag 8/2022 ke peraturan sebelumnya, yaitu Permendag 2/2022, dalam fakta persidangan terbukti berasal dari pelaku usaha. Namun, usulan tersebut tidak pernah diimplementasikan.

“Terdakwa tidak pernah merancang, mengolah dan membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha yang tidak menggambarkan kondisi pemenuhan kewajiban DMO yang sebenarnya, sebagai dasar oleh Indra Sari Wisnu Wardhana dalam penerbitan PE CPO dan turunannya. LCW diminta Mendag untuk memperbaiki tampilan presentasi. Data yang disajikan LCW berbeda pengunaanya. Data tersebut digunakan untuk program Darurat Migor dan tidak digunakan sebagai syarat penerbitan PE,” tutur Lelyana.

LCW, lanjutnya, diminta membantu Program Darurat Migor untuk mendistribusikan 540 juta liter dalam 1 bulan setelah dua program operasi pasar sebelumnya gagal memenuhi target.

LCW tidak punya konflik kepentingan dalam kedudukan sebagai Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang membantu Mendag Muhammad Lutfi. Kontrak riset dalam rangka feasibilities study dan Covid Research dengan Wilmar Group dan Musim Mas Group telah selesai jauh sebelum timbul masalah minyak goreng. LCW juga tidak pernah mendapatkan fee atau pembayaran terkait dengan bantuan dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng.

Terkait kerugian keuangan negara, sebagaimana diterangkan di persidangan oleh Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial (Kemensos), Mira Riyati Kurniasih yang menjadi saksi, Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng yang diluncurkan pemerintah pada April 2022 tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara karena bukan merupakan anggaran baru yang khusus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng.

BLT tersebut merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dananya berasal dari APBN melalui DIPA Kemensos Tahun 2021.

“Penghitungan kerugian perekonomian negara dengan model input output (I/O) yang dilakukan oleh ahli Rimawan Pradiptyo, PhD, bukan saja tidak tepat tetapi tidak memiliki dasar hukum. Pertama, Rimawan hanya menghitung biaya tanpa memperhatikan manfaat dari kegiatan ekpor CPO, misalnya pajak ekspor dan pungutan lainnya. Kedua, Rimawan menggunakan sektor sawit sebagai input dan beberapa industri makanan sebagai output. Sementara yg dipermasalahkan adalah minyak goreng dan berdasarkan peraturan Kemendag, DMO minyak goreng tidak boleh dipergunakan oleh industri makanan,” kata Maqdir.

Selain itu, lanjutnya, Rimawan juga mengakui dalam persidangan bahwa input output model tidak cocok untuk menghitung industri yang bergantung pada fluktuasi harga komoditas. Apalagi Rimawan menggunakan data 2016, yang pasti situasinya berbeda dan begitu juga terkait dengan harga yang berbeda.

“Sebagai contoh, produk sawit dan turunannya pada 2016 baru 58 jenis, tetapi pada 2022 sudah mencapai 185 jenis. Dengan fakta ini seharusnya sebagai ilmuwan yang selalu bertumpu pada kebenaran, Rimawan tidak sepatutnya berpendapat ada kerugian perekonomian negara yang fantastis, apalagi disertai bumbu ada ‘konsultan dan pejabat yang pasti mendapat keuntungan,'” tambah Lelyana.

Anggota tim kuasa hukum lainnya, Handika Honggowongso, menyebutkan sejumlah bukti betapa tidak akurat dan tidak tepatnya perhitungan yang dilakukan Rimawan. Salah satunya adalah Rimawan mengubah nilai kerugian perekonomian negara yang dalam BAP mencapai Rp12.312.053.298.925 (Rp12,3 triliun), menjadi Rp10.960.141.564.141,00 (Rp10,9 triliun) saat memberikan keterangan di persidangan

Selain itu, tidak tepatnya perhitungan kerugian perekonomian negara juga disebabkan Rimawan yang menganalogikan perdagangan CPO ini sama dengan perdagangan “drugs and trafficking”, untuk mengatakan ada keuntungan ilegal dalam penerbitan PE CPO.

“Berdasarkan keterangan saksi ahli lainnya, Lukita Dinarsyah Tuwo (ekonom dan mantan Sekretaris Menko Perekonomian, red), penyebab kelangkaan minyak goreng adalah karena penetapan HET yang tidak disertai ekosistem yang mendukung, terutama jalur distribusi migor. Keterangan sejumlah saksi juga menunjukkan kenaikan harga minyak goreng terjadi sejak pertengahan 2021, sedangkan kelangkaan baru terjadi setelah penetapan aturan HET,” tambah Handika

Ia menyebutkan, kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan oleh produksi maupun ekspor, tetapi lebih disebabkan masalah distribusi. Hal ini ditunjukkan dengan data ekspor CPO dan produk turunannya pada periode Januari-Maret 2022 yang turun 3,9 juta ton, yang bertentangan dengan dalil JPU bahwa pada periode itu terjadi peningkatan ekspor CPO.

By Editor2